Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Thursday, July 26, 2012

Di Depanku Ada Kuburan

Di depanku ada kuburan



Tanah memerah bekas galian



Di depanku ada kuburan



Menunggu daun siapa gugur bergiliran



Di depanku ada kuburan



Doa dilantunkan



Di depanku ada kuburan



Jasad ditinggalkan



Di depanku ada kuburan



Sebelum nyawa di tenggorokan



Terlambatkah meminta ampunan?





(Astaghfirullahal'adzim... Magelang, 14 Juli 2012, dalam duka seorang kawan)


Asap

Kursi
belakang terisi penuh. Enam orang
lelaki yang lebih pantas disebut bapak-bapak duduk berdampingan, mengisi
ruang kosong kursi belakang bus jurusan kota Dawet Ayu-kota Bandeng.
Penuh.

Namun, kursi tengah lebih lenggang. satu dua orang mengisi kursi2 lusuh
itu.

Aku, salah satu penghuni kursi ini mencoba bertahan dalam sesaknya ruang
ini. Satu lelaki yang duduk di kursi sebelah k

ini membuang sisa
tembakaunya.
"Kenapa kau tak telan saja sekalian tembakau itu, biar kau bisa
merasakan kenikmatan sendiri," gumamku dalam hati.

Bus yang sering berhenti kini membuatku pusing. "Ah, tak biasanya. Andai
aku naik motor matikku bisa jadi q tak seperti ini,"

Aku ambil sisa permen jahe yang aku beli tadi di terminal dg Bapak.
"Mungkin ini bisa membantu," gumamku lagi.

Pelaku seni jalanan (pengamen) datang silih berganti. Aku tak peduli.
Tak hanya pengamen, seorang anak kecil, seumuran anak kelas 5 SD aku
kira, menyodorkan selembar amplop.

"Assalamu'alaikum, para dermawan tolong bantu kami"
Kiranya kalimat itu yg yang tercantum bersama amplop lusuh tadi, tak
kurang nama terang dari bocah kecil itu juga ada. Aku makin tak peduli.
Aku sakit sekarang. Hanya ibu-ibu yang duduk di kursi seberang
menawarkan roti untuk bocah kecil itu.

"Nduk, ki tak kei."

"Enggak mau Bu," jawabnya.

"Dia butuh uang Bu, bukan jajan. Ini bukan urusan perut, tapi kertas dan
logam keluaran Bank Indonesia itu kini lebih berharga," gumamku lagi
dan lagi dalam kesakitan.

Ibu-ibu dan Bapak-bapak melewati lorong bus. Menjajakan minuman dan
makanan.

"Tahu-tahu, Mizone-mizone. Tahu mb? Mizone mb?" pedagang ini berusaha
menawarkan daganganya padaku.

Aku mengambil koin yg tadi diberi Ibu untuk para pengamen saja tak
kuasa, apalagi mengambil uang untuk membeli makanan. Tak bernafsu.


Kini seorang mbak-mbak duduk di kursi yg sedari tadi kosong tak berisi.
Ah, bau parfumnya membuatku semakin mual. Aku tak biasa memakai parfum,
bahkan bedakpun tak punya. Hanya sesekali q memakai freshcare semacam
aroma terapi untuk menghilangkan masuk angin. Aku merasa bertambah
sesak.

Tak hanya asap yang menyesakan, orang-orang dalam gumamnya
sendiri-sendiri bahkan parfum ini. Aku ingin keluar dari sini.
Kini aku mulai berspekulasi...

Ah kiranya dalam bus ini adalah miniatur kehidupan. Terlalu sesak untuk dinaiki.

Namun, aku belum sampai tujuan. Baru setengah jalan. Godaan untuk berhenti, menghilang dari sesak ini kadang menjadi-jadi.

Sesak dengan persoalan dunia. Sesak dengan segala hal di dalamnya, tujuh milyar manusia tumpah ruah. Mencari keberuntungannya sendiri-sendiri. Termasuk diriku, satu dari manusia.
Ah, akankah q berhenti atau aku akan bertahan sampai tujuan nanti? aku yg menentukannya sendiri.

Asap masih mengepul di belakang bus, terlalu pekat untuk dihirup. Bus melaju dengan pelan namun pasti.

Perjalanan menuju perjalanan abadi, Tuesday, 5 June 2012 at 17:31

Saturday, July 21, 2012

Hujan di Bulan Juli


Satu bulan lalu adalah kering
Panas menelantarkan alas bersama ranting
Mengalunkan nada kemarau yang nyaring
Air tak lagi mengalir seperti di Januari
Meluber tanda berkah Illahi

Anak-anak berlarian
Menadah air dari langit berhias hujan
Malam ini, gerimis di bulan Juli
Akankah ini yang aku cari?
Di depan mata, tanah retak
Daun gugur terkoyak

Ah, bukankah melihat daun gugur juga keindahan?
Seindah menadah turunnya hujan?
Air menjadi sumber kehidupan
Daun gugur mengingatkan kematian
Keduanya kepastian bukan?



Patemon, Gunungpati, Semarang Senin 16 Juli 2012 dalam ruang hampa tawa, cukup senyum.

Sumber foto internet

Thursday, July 5, 2012

Gusti Allah Ora Sare


"Maafkan aku."

Kalimat ini tak asing bagiku. Aku bosan mendengarnya. Ah, namun semoga Tuhan tidak bosan mendengar permintaan maaf dariku. Bahkan Dia tak lagi asing dengan suara yang melantunkannya. Sungguh, hari ini aku ada karena pertolongaMu. Hari ini aku bisa bercengkrama percaya diri dengan orang lain karena Engkau sedang menutupi kekuranganku, menutupi aibku.

Ya Rabb, apakah kata maaf ini masih pantas aku lontarkan? Bahkah setelah aku lontarkan, aku melakukan dosa lagi.

Ya Tuhan, andai saja kata maaf ini dijual. Aku takkan sanggup menebus hutang-hutang kata maaf yang harus aku pinta padaMu.Ya Rabb, Engkau Mahapengampun. 

Ya Rabb, kata maafku hanya pemanis bibir, hanya pledoi untuk bisa berhela nafas karena aku merasa dengan kata "maaf" tadi seolah-olah yang lalu biarlah berlalu. Ah, gampang sekali meminta maaf.

Ya Rabb, aku hanya bisa meminta, aku terlalu sombong untuk tidak meminta kepadaMu. Aku terlalu percaya diri dengan kemampuanku.

Engkau bahkan mengingatkanku dengan begitu halus dan pelan. Begitu lembut. Ah Iman, kemana engkau pergi? Ah Hati kenapa gampang teracuni? Allah, aku ada karenaMu, namun tindakanku telah meniadakanMu. Seolah-olah Engkau jauh, namun bukankah Engkau begitu dekat? Sedekat urat nadiku? Kapan saja bisa mencabut nyawaku.

Astaghfirullah..... Ya Rabb, aku terlalu percaya diri untuk melangkah tanpaMu. Aku lupa, bahwa bukankah Engkau tak pernah tidur? Namun, ternyata ungkapan "Gusti Allah Ora Sare" ini hanya dibibir saja selama ini. Aku meniadakanmu, menutup mata atas diriMu.

Allah, aku sungguh hina untuk meminta maaf. Debu pasir ini bisa jadi mewakili dosa yang aku perbuat. Tak terhingga. Namun aku percaya, ampunanMu begitu luas untuk hambanya.

Ruang bisu, Semarang, Kamis, 5 Juli 2012

Thursday, May 3, 2012

Melepas Senja

Raut wajah mereka terlihat kusam. Seharian berkutat dengan dunia mereka sendiri-sendiri. Organisasi, kuliah dan bahkan kebiasaan aneh lainnya. Seperti nongkrongin komputer. Iseng-iseng ngomen status/twit orang (Ini kerjaanku kok, maaf kalo ada yang tersinggung).

Mereka melukis waktu dengan karya. Karya dari pena berbentuk keyboard. Kata demi kata berjejer, kemudian berkumpul membentuk paragraf yang syarat makna. Ah, meski kadang hanya celoteh belaka. Ya, celoteh itulah maknanya.

Pena berbentuk keyboard semakin nyaring menciptakan iramanya. Lembar demi lebar goresan tinta printer berserak di atas meja. Terbuka, memberi kesempatan lebar sang pembuat makna. Pembaca.

Lukisan,kisah tentang anak manusia yang jatuh cinta. Karya Sang Mentor M.Rifan Fajrin tak urung menjadi sorotan utama."Ah, kalian punya otoritas sendiri akan memasak apa dan bahan-bahan apa yang akan dibutuhkan," ungkap sang Maestro.

"Namun jangan lupa, tengoklah dan antarkan tetangga sebelah ketika selesai memasak. Hitung-hitung dengan niatan cari tahu resep apa yang digunakan. Syukur-syukur dibolehkan mencicipi atau malah dibungkusin dibawa pulang," jelasnya sembari membetulkan kacamata.

Sang Koki cilik sedang gemar memasak rupanya, memasak kata-kata cinta, kata-kata yang berbau kampus, kata-kata yang setiap hari diungkap namun kini mencoba dibumbui makna. Masakan "Melepas siang" karya editor buletin Express Nisrina Laely W. tak kalah menarik, dengan setting di tepi laut. Pantai. Membuat syahdu penikmatnya. Kesyahduan begitu terasa Express. Cepat. Koki terlalu tergesa-gesa mengangkat masakan dari wajan. Masakan setengah matang. Tampilan segar, namun dirasakan tidak enak di lidah.

Masih mengenai cinta, kini bisa jadi bukan cinta biasa. Cinta seorang hawa yang mengagumi hawa lainnya. Itulah karya Si bibit kecil Reporter Express Bunga Ayu. "Mungil Bibir, Perempuanku" dipilih Bunga menjadi judul karyanya. Ah, masakan ini bisa jadi masakan yang tidak biasa dengan mengangkat bahan-bahan yang jarang di pasaran. Perlu kehati-hatian dalam mengolah dan menyajikan agar bisa enak dimakan.

Bentuk ceritanya seperti diary. Begitulah banyak teknik memasak, dengan cara yang sama seperti Bunga, atau cara yang lain menjadi otoritas Si koki. Ah, cerita cinta tak pernah bosan jika dibuat karya. Masakan ini banyak pemburu atau penikmat. Namun, masakan dengan bahan yang sama bisa jadi rasa berbeda. Maka dari itu, memasak juga perlu seni. Seni memilih bumbu-bumbu untuk penyedap masakan itu perlu.

Lagi-lagi masih mengenai cinta, cerita cinta yang tak terbalas? Cerita cinta masa lalu? Bisa jadi itu yang menjadi tema-tema dalam cerita cinta. Banyak memasak dengan bahan ini. Dengan nama-nama masakan beragam. Pemberian nama masakan menjadi penting untuk menarik penikmat masakan untuk mencicipinya. Seperti masakan dengan,nama "Entah" karya PU BP2M Debby P. dari namanya bisa jadi pembaca akan berpendapat sama dengan nama dari masaka itu. "Masakan apa itu? Entahlah," penikmat berspekulasi negatif. "Isinya bagus meski terkesan tergesa-gesa untuk merampungkan cerita, namun pemberian judul tidak menarik untuk mebaca cerita ini," kata Sang Maestro."Daun terakhir siapa yang akan jatuh lebih dulu? Daunku atau daun Si Pohon Jambu? Bisa jadi kutipan ini menarik dengan membuat perbandingan dari perumpamaan," tambahnya. Masakan bisa jadi enak, namun pemberian nama masakan yang kurag menarik bisa jadi pula menghilangkan rasa penasaran dari penikmat untuk mencicipi masakan tersebut.

Tak hanya kisah cinta saja rupanya yang menarik dibuat masakan yang lezat.Cerita mengenai fenomena-fenomena keseharia yang ada di dekat kita bisa menjadi cerita yang menarik. "Ruang Sesak Itu" mengandung bahan masakan yang terdiri dari fenomena keseharian Si Koki dan mengemati fenomena tersebut. Ya, cerita tentang ruang kelas yang begitu sempit namun dihuni berpuluh-puluh orang di dalamnya beserta fenomena-fenomena yang terjadi ditulis dalam cerita dari Marfuah Hikaru, Litbang BP2M.

"Koki begitu detail menjabarkan bumbu-bumbu yang digunakan dalam masakannya, bumbunya terasa di lidah," kata Sang Maestro. "Hanya saja, tampilan masakan kurang menarik untuk dilihat," tambahnya lagi.Kurangnya dialog dalam sebuah cerita menjadikan cerita menjadi menjenuhka dan terkesan kurang hidup.

Ah, itu kisah kami sembari melepas senja. Lantas? Tinggal Anda pilih berbagai cara untuk memasak, masakan apa dan bagaimana memasaknya.Juga, menciptakan masakan yang sekali kecap penikmat bisa ketagihan untuk tidak hanya menghabiskan masakan,namun juga ada kesan setelahnya. Fakta menciptakan makna. Terima kasih kawan-kawan atas bahan-bahan masakannya. Ttk hbs.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More