Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Tuesday, December 29, 2015

Pentingnya Yoshuu dan Fukushuu

Suatu hari Sensei menanyai muridnya tentang materi bab kemarin dan sebagian besar dari kami hanya bisa diam –karena agak lupa. Kemudian Sensei lanjut bertanya tentang pola kalimat baru di bab selanjutnya dan kami semakin tutup mulut.

Jiin~ 

Begitulah suasana hening di kelas yang lantas disambung oleh tawa miris Sensei. Beliau tentunya marah karena para murid seakan kurang serius dalam belajar. Tak pelak ceramah berdurasi setengah jam lebih pun masuk ke telinga kami.

Ada apa gerangan?

Yapp, ini karena murid-murid Indonesia pada umumnya hanya belajar jika AKAN ADA ULANGAN. Miris bukan? Termasuk saya terkadang bersikap seperti itu karena ditubruk oleh sibuknya event ini itu. tetapi menurut saya itulah kunci sukses orang Jepang yang selalu belajar tanpa kenal waktu karena sudah menjadwal waktunya dengan teratur tanpa mubadzir sedikitpun.

Yoshuu 「予習」atau menyiapkan pelajaran adalah kegiatan untuk bersiap-siap menginjak ke materi berikutnya sehingga murid sudah mempelajari kosakata dan pola kalimat baru dnegan mandiri yang selanjutnya pemahaman tersebut akan dikuatkan dengan penerangan dari Sensei keesokan harinya.

Fukushuu 「復習」atau mengulang kembali pelajaran adalah kegiatan mengingat kembali materi yang telah dipelajari karena antara materi yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan tidak pernah terputus.

Memang awalnya susah untuk melakukan karena kita benar-benar harus bisa meluangkan waktu untuk belajar mandiri dalam memahami untuk mendapatkan gambaran awal tentang sesuatu yang baru maupun mengingat kembali hal yang pernah dipelajari tetapi sampai terlupa di tengah jalan.

Namun bandingkan saja dengan resikonya. Sewaktu MTs dan SMA, guru saya sering mengadakan Pre-Test yang tentu saja membuat jantung berdebaran. Bayangkan, belum membaca materi baru sama sekali tiba-tiba kita dihadapkan dengan selembar kertas berisi pertanyaan yang tak pernah kita nyana. Atau tiba-tiba saja guru meminta kita menuliskan kembali semua kosakata-kosakata yang telah dipelajari di pertemuan minggu kemarin dalam secarik kertas kosong. Lantas apakah kita hanya bisa diam? Menyesali mengapa tidak melakukan sesuatu demi keberhasilan kita sendiri di masa depan?

Nah itulah yang saya pikirkan seusai ceramah Sensei terus berdengung di pikiran saya. Banyak orang menghabiskan waktunya demi sesuatu yang tidak lebih penting daripada belajar demi kesuksesan dirinya di masa depan. Sensei juga menekankan bahwa semakin banyak semester bukan berarti bab-bab awal semakin dilupakan karena bab tersebut menjadi landasan berpijak menuju bab yang lebih tinggi justru harus semakin dikuatkan. Aneh bukan jika hendak naik ke tempat yang lebih tinggi kita tak memiliki sandaran atau alat bergantung yang memadai? Malahan kita akan terjatuh dengan rasa sakit yang luar biasa karena tidak memiliki pengalaman dan pengamanan yang cukup.

Sama seperti orang beragama, jika ia memilih mendalami agama di masa tua nanti maka ia akan sangat menyesal apabila di hari esoknya ia terlanjur meninggal dan menghabiskan sisa hidupnya kemarin bukan untuk Allah. Ia tidak mengerti bagaimana caranya bersyukur, bagaimana caranya beribadah, bagaimana caranya bertobat dan memohon ampun atas dosanya kepada Sang Maha Kuasa hanya karena malas melakukan sesuatu dang menundanya untuk waktu yang lama sekali. Duh, sungguh mengerikan yah. u,u

Hmm..memang, hal yang sepele ternyata berakibat besar ya?

Yosh..think global to the future guys, pasti kalian menemukan perbedaan yang signifikan dengan terus berpikir ke arah depan dan memperhatikan keadaan di sekeliling secara seksama.^^

Semoga bermanfaat dan ganbatte kudasai! :D

Wednesday, December 23, 2015

Deadline Oh Deadline...Bagaimana Mengatasinya?

wheeldesign.blogspot
Deadline atau batas akhir suatu event seringkali membuat kita seakan kebakaran jenggot. Bagaimana tidak? Untuk orang yang manajemen waktunya sudah bagus saja terkadang keteteran apalagi yang jarang mengagendakan kegiatannya pasti berantakan, hehe.^^

Baiklah, uraian di atas barulah intermezo saja. Saya sebagai penulis kecil-kecilan telah menganggap deadline sebagai warna indah di dalam hidup saya. Bayangkan jika tidak ada deadline dalam suatu event maka apa yang akan terjadi? Kebanyakan orang pasti akan malas, malas, dan malas serta menunggu untuk mengumpulkan naskahnya yang mungkin sampai akhir dunia nanti. Namun berbeda dengan orang yang rutin mengagendakan kegiatannya serta memikirkan rencana cadangan apabila kegiatan yang telah terjadwal itu terpaksa ditunda atau diganti waktu pelaksanaannya.

Hal ini sering saya temui ketika saya tengah menggarap naskah dan merasa bosan, di situlah kadang saya berselancar di internet dan menilik update peserta di event tersebut. Tidak tanggung-tanggung, baru sekitar tiga hari seusai event itu diumumkan, sudah ada orang yang mengirim naskahnya dan nangkring di urutan pertama update peserta. Bagaimana bisa ya?

Sebenarnya mudah. Waktu luang itu selalu ada untuk kita hanya tinggal kita saja yang menyadarinya atau tidak. Tergantung pemikiran orang tersebut pula yang menentukan bagaimana tingkah lakunya. Laiknya orang Jepang yang disiplin waktu, mereka selalu mencatat setiap agenda yang akan dilakukan di buku catatan kecil yang sering disebut techou sehingga mudah mengingat dan mengatur jadwal kegiatannya. Dapat memilih pula agenda yang mendesak atau tidak sehingga tidak mengorbankan gagalnya agenda lain yang ingin dikerjakan melainkan hanya menunda waktunya saja, mudah bukan?

Hal ini pernah saya terapkan terhadap diri saya sendiri dan alhamdulillah berhasil, beberapa event dapat ‘tersapu’ dengan baik meski tidak semuanya jadi naskah kontributor. Beginilah tips saya:
1. Pilih event lomba yang temanya menurut Anda paling mudah dikerjakan, segera cari referensinya dan pikirkan inti ceritanya.
2. Jangan terlalu pusing menentukan judul, yang penting badan cerita disusun dengan baik lebih dahulu, setelahnya pikirkan ending cerita yang mengena dan mengandung pesan.
3. Pikirkan judul yang menarik sehingga keoptimisan naskah Anda layak jadi kontibutor cukup tinggi, memang urusan sederhana tetapi first eye catching memiliki poin cukup penting untuk menarik minat orang lain yang membacanya.
4. Poin yang cukup penting, jangan selingkuhi naskah! Jika kita mulai bosan atau writer’s block dan mulai 'nakal' pindah dari naskah ini ke naskah itu maka tidak ada satupun naskah yang akan terselesaikan karena kita sudah menghabiskan banyak waktu.
5. Segera setor naskah apabila dinilai ‘layak matang’ agar kita segera tahu seberapa besar kemampuan kita dan untuk menghindari keraguan dalam mengirim naskah.

Bagaimana? Sebenarnya langkahnya mudah namun perlu dorongan dari diri sendiri. Karena masalah itu selesai bukan karena kita meninggalkannya atau melupakannya tetapi menyelesaikannya dengan segala kemampuan yang ada.

Lewat animasinya, Jepang mengisahkan anak malas yang berubah menjadi orang yang peduli jika ia mau mengerti keadaan di sekitarnya. Judulnya Hyouka, pemeran utamanya bernama Houtarou Oreki yang memiliki motto "If I don't have to do it, I won't. If I have to do it, I'll make it quick." Atau yang di dalam bahasa Indonesia artinya “jika tidak perlu maka aku takkan melakukannya. Jika aku harus melakukannya maka akan kulakukan dengan cepat.”

So simple right?^^

Ingat, setan menipu kita dengan memanjakan di saat waktu luang kita dan mencekik di saat waktu sempit yang baru kita sadari. Gelar deadliner sejati itu bukan pujian lho, ayo ubah dirimu menjadi lebih baik! :D
ini nih mottonya oreki^^

Friday, December 18, 2015

Mengapa Memilih Jepang?

Tokyo Tower
interestingarticle.blogspot.com
Judul di atas adalah pertanyaan yang sering dilontarkan banyak orang –termasuk keluarga saya- ketika memilih menempuh studi pendidikan bahasa Jepang di Unnes.

Mengapa?

Mungkin bagi orang awam, jawaban saya hanya akan menyangkut soal kehebatan Jepang dari segi hiburan. Misalkan saja anime, film, drama, boyband atau girlbandnya. Namun menurut saya itu hanya sebuah nilai plus yang memudahkan saya mempelajari Jepang itu seperti apa. Lewat media hiburan tersebut, hal-hal seperti budaya, politik, pandangan hidup, dan lain sebagainya dapat tersampaikan dengan lebih mudah. Oke, mari kembali ke pembahasan awal.

Mengapa saya memilih Jepang?  Karena kegemerlapan kota Tokyo yang termahal di dunia dan terkenal dengan samurai bengis serta budaya harakirinya(1)? Wow wow, bukan seperti itu motif saya, hehe.^^

Nama resminya adalah Nihonkoku atau Nipponkoku, negeri yang memiliki kemajuan hebat di bidang teknologi dan pendidikan, tingkat kemakmuran dan kedisiplinannya tinggi, serta objek wisatanya makin diminati dari tahun ke tahun oleh pelancong luar negeri karena pelayanannya menarik bahkan pengunjung muslim pun dimudahkan dalam beribadah di sana, ditambah makin meningkatnya mahasiswa dari luar negeri yang tertarik mencari kunci kesuksesan. Bagaimana? Sudah jelaskah? Bukankah Jepang adalah cerminan negara sejahtera yang didambakan oleh semua orang?

Terlepas dari kekurangan Negeri Sakura tersebut, saya menyadari bahwa dengan belajar bahasa Jepang akan memberikan kesempatan baik untuk saya mengubah Indonesia. Mungkin awalnya susah karena kita harus mempelajari huruf hiragana, katakana, dan kanji agar mengerti bahasa tersebut, baik membaca maupun menulis. Bahkan harus mempelajari berbagai tingkatan bahasa seperti teineikei(2), futsuukei(3), sonkeigo(4), dan kenjogo(5) selayaknya dalam bahasa Jawa, lama-lama bisa pusing saya, hehe.

Meskipun ada halangan besar seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi semangat untuk mempelajari bahasa Jepang demi masa depan negara sendiri takkan membuat saya putus asa. Menyadari kelemahan saya sebagai mahasiswa yang dulunya apatis dan hedonis, sekarang mata saya terbuka dengan berbagai masalah yang muncul di Indonesia. Karenanya, saya ingin menjadi seorang guru yang dipanuti oleh murid saya dan bisa memberikan kontribusi penting kepada masyarakat. Memang masalahnya saya susah dalam mengeluarkan pendapat dan merangkai katanya dalam bentuk lisan sehingga susah dipahami orang lain. Duh, boro-boro membimbing orang, mengatakan saya ingin begini atau begitu saja kadang-kadang ribet. Maka dari itu, saya ingin menjemput tantangan tersebut, sama seperti menjemput hidayah dari Allah bahwa perempuan adalah aset penting dalam majunya suatu negara.

Nah, kembali lagi ke topik. Jepang adalah tonggak kuat dalam dunia pendidikan, sudah terlihat jelas bahwa sejak taman kanak-kanak, penerus bangsa mereka telah diajari kemandirian dan kedisiplinan yang akhirnya mendarah daging secara alami di dalam kehidupan mereka. Dibandingkan dengan Indonesia memang berbeda jauh karena anak-anak di negeri kita sekarang mudah terkontaminasi hal buruk yang mudah ditemukan di berbagai acara televisi tanpa sensor sedikitpun, tetapi apabila kita ingin menerapkan hal kedisiplinan mengenai media sosial bagi anak maka tidak ada kata terlambat, selama kita terus berusaha dan berjuang tanpa mengenal kata menyerah maka in sya Allah akan ada hasilnya. Itulah budaya ‘akiramenai’ (tidak menyerah) dan ‘ganbaru’ (semangat) yang ingin sekali saya tanamkan di lubuk hati semua orang. Karena budaya Timur di Jepang masih sepadan dengan budaya Indonesia, saya rasa kedua elemen sakti ini bisa diterapkan sedikit demi sedikit mulai dari pribadi masing-masing. Yang saya ketahui, ketika akidah atau keyakinan seseorang sudah benar, maka cara berpikirnya akan bangkit dan akan melahirkan aksi-aksi perubahan yang tentunya sejalan dengan asas kepemimpinan berpikirnya, sehingga kemajuan akan terus muncul seiring berubahnya pola berpikir masyarakat yang ada di sekitarnya. Yang penting sekali untuk kita lakukan adalah PEDULI! Bukankah Allah sudah memberikan kita potensi-potensi hebat di dalam diri yang perlu digali dan dikembangkan? Apakah kita masih ingin menjadi pribadi yang individualis, egois, dan marah ketika orang lain mengingatkan kita untuk berbuat kebaikan?

Think again. Kemajuan di Jepang akan menjadi masa depan Indonesia pula apabila masyarakat benar-benar peduli, mengerti, dan sadar akan masalah yang sedang dihadapi. Bukannya acuh tak acuh dan hanya mementingkan diri sendiri dengan motto ‘yang penting saya tidak merugikan kamu dengan kebebasan yang ingin kulakukan’ yang seakan tertempel jelas di kening kita. Bayangkan jika Jepang seperti itu, pasti negara yang tidak lebih luas dari Pulau Sumatra itu akan semakin terpuruk. Angka bunuh diri akan semakin tinggi karena setiap orang terbelit dengan masalahnya masing-masing, dan tahukah Anda dengan apa yang Jepang lakukan demi meminimalisir kejadian tersebut? Jepang mengusahakan banyak kalimat motivasi dan peringatan terpasang dengan jelas di tempat yang sering digunakan untuk bunuh diri, di setiap stasiun kereta juga dipasangi lampu LED biru yang mencolok agar mereka mencegah dirinya bunuh diri dengan mudahnya. Kurang lebih papan peringatan tersebut berisi demikian:
“Hidup Anda adalah hadiah yang tidak ternilai dari orang tua Anda. Pikirkan lagi orang tua, saudara, dan anak Anda. Jangan simpan masalahmu sendiri. Bicarakanlah masalah-masalahmu.”

Bagaimana? Ingin menjadi manusia yang berguna manusia yang lain demi meraih ridha Allah juga bukan? Yuk, peduli dan sadar pada masalahnya serta cari solusi terbaiknya! :D

*Keinginan terdalam saya mengapa ingin belajar sampai ke Jepang yang belum sempat diikutsertakan ke dalam lomba karena ide muncul seusai deadline, hihi.^^

(1) Tradisi bunuh diri oleh orang Jepang zaman dahulu apabila kalah dalam berperang.
(2) Ragam bahasa formal.
(3) Ragam bahasa informal.
(4) Ragam bahasa hormat dengan meninggikan tingkatan kebahasaan aktivitas orang lain.
(5) Ragam bahasa hormat dengan merendahkan tingkatan kebahasaan aktivitas diri sendiri.

Thursday, December 17, 2015

Tentang Mahasiswa Semester Tua dengan Kegalauan yang Ada

Kalau sudah menonton drama keluarga seperti ini selalu lupa kalau ada skripsi yang harus dikerjakan segera. Iya, karena setiap kali menonton, pasti membayangkan andai aku bisa punya suami seganteng pemeran dalam film yang ada pada gambar di samping ini. hehe

Contohnya, ketika aku menonton drama keluarga asal Taiwan New Perfect Two (2012). Bayangkan saja, ayah yang ganteng dan baik hati yaitu Vic Zou sangat mencintai anak lelakinya. Apalagi artis anggota boy band F4 ini merupakan artis yang aku suka sejak SD.

Dalam drama diceritakan bagaimana Vic Zou yang berperan sebagai Ah Bee sangat sayang kepada anak semata wayangnya. Cerita yang menyentuh hati membuatku menangis sepanjang nonton drama ini.

Tuh kan, kalau sudah menonton drama keluarga, aku yang notabene adalah mahasiswa semester tua, suka lupa ada yang harus aku kerjakan segera. Percayalah aku adalah mahasiswa penghuni Universitas Negeri Semarang (Unnes) angkatan "tua". Kata "tua" di sini dalam arti sebenarnya. Tua umur, tua semester pula.

Saat ini usiaku 24 tahun, jomblo dan ditambah skripsi belum kelar. Kawan-kawan satu angkatan tinggal hitungan jari, kadang hal ini yang membuatku merasa asing sendiri. Saking lama merantau di Unnes, aku tahu perubahan harga bensin, rames, es teh dan harga sembako lainnya yang semakin tidak ramah kantong mahasiswa (khususnya mahasiswa apa adanya sepertiku).

Tidak hanya itu, sebagai mahasiswa semester tua, aku juga mengalami penggantian dekan sampai rektor Unnes (bahkan sampai tahu penambahan penjaga keamanan dan juga penjaga kebersihan). Menurutku, semua itu bukanlah prestasi. Sama sekali bukan. Oleh karena itu, kadang aku berpikir, apa yang sudah aku lakukan selama ini?

Barang kali salah satu pembaca Celoteh Anak Negeri di sini juga mempunyai nasib yang sama. Nasib sebagai mahasiswa semester tua. Seperti mahasiswa semester tua yang lain, ada beberapa faktor yang membuatku berada pada jalan sepi bernama "Semester Tua" ini. Aku sebut "jalan sepi", karena tidak banyak yang mau menyambangi. Hanya segelintir orang yang masih bersarang.

Bayangkan saja, dari tiga Rombongan Belajar (Rombel) dengan rata-rata dihuni oleh 30 mahasiswa, sekarang tinggal kurang lebih 11 saja (namun data terbaru yang aku dapatkan, dari sebelas mahasiswa tua ini tinggal 3 orang karena dikurangi yang ikut wisuda Oktober kemarin).

Betapa sepi bukan? Biasanya di kampus saling sapa dengan satu angkatan. Kini, ke kampus tinggal sendirian (karena jarang ketemu sama kawan-kawan yang tersisa itu). Apalagi, kalau mau jajan. Jalan sendirian menuju kantin, dan makan tinggal bayar trus pulang. 

Namun, itu yang dulu aku rasakan. Nyatanya setelah aku jalani, kau tak lagi merasa sepi. Ini memang harus aku jalani. Selain mikir skripsi, hari-hari aku jalani dengan arubaito (bekerja paruh waktu). hihi Selain itu, semeseter tua juga punya kegiatan sampingan lain yaitu kondangan.

Kenapa? Karena kawan-kawanku sudah pada bekerja dan tidak heran juga kebanyakan siap menikah. Tinggal nunggu undangan mereka saja, seperti bergiliran (kalau aku kapan coba?).  Ah sudahlah turut berbahagia untuk mereka, semoga aku juga segera insyaallah. :) Baiklah berpredikat sebagai semester tua tidak menghalangiku untuk bisa maju. Apalagi hanya mikirin mantan melulu. Siapa tahu jodoh tahun depan bisa ketemu. Aamiin insyaallah :)

Patemon, Gunungpati, Semarang 17 Desember 2015

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More