Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Thursday, May 28, 2015

Jodoh (*

Sumber: http://toko-muslim.com/

Bila jumlah wanita lebih banyak dari pada pria di zaman lapangan kerja menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidaklah sulit menemukan gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang berusia dua puluh lima tahun lebih. Sebab, masyarakat masih memandang mereka menjadi oknum yang menggelisahkan keluarga. Akibatnya, jejaka yang berusia seitar tiga puluh tahun dan punya pekerjaan, seperti Badri, jika mengacungkan telunjuknya pada gadis-gadis itu, maka jadilah ia istrinya.

Beberapa bulan lagi Badri gena tiga puluh tahun. Dibandingkan dengan angkatannya, ia dipandang sudah terlambat memperoleh istri. Bukan karena telunjuk bengkok ataupun kompong, melainkan karena idealismenya yang meluap-luap dalam lapangan sosial dan kebudayaan. Ketika ia menyadari bahwa perjuangan takkan selesai meski ia hidup terus sebagai jejaka, untuk memperoleh seorang tidaklah begitu mudah baginya. Ada tiga macam halangan yang tidak bisa ditembus akal sehatnya.

Demi turunannya, agar generasi muda mendatang tidak lagi pendek-pendek tubuhnya, ia merindukan seorang gadis yang tinggi semampai. Dan itu tidak mudah ditemuinya dalam masyarakat yang berbadan pendek. Halangan lainnya karena Badri berdarah campuran yang dianggap kurang bermutu menurut adat pandangan Minangkabau yang lebih menyukai perkawinan awak sama awak. Halangan lain ialah kalkulasi biaya hidup yang takkan klop lagi bila ia nikah.

Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis pulalah seluruh isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua dengan istrinya maka mulai tanggal satu tentunya kantongya sudah bolong. Meski logika itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih cermat, jumlah gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli sepasang pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus dihentikan. Dan menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan dan itu tidak soal berat. Yang terberat ialah jika ia memikirkan konsekuensi perkawinan. Istrinya tentu akan hamil dan melahirkan anak. Menurut penelitiannnya, ongkos periksa sekali wanita hamil sama dengan dua hari gajinya. Biaya bersalin akan menelan gajinya sebulan. Belum lagi kalau dihitung pengeluaran untuk membeli perangkat bayi mulai popok, gurit, dan tempat tidur mungil. Kesimpulan Badri, ia tidak bisa nikah untuk selama-lamanya.

Terkecuali bia ia ingin bertingkah laku seperti rekan-rekanna yang lain. Atau seperti Pak Mudo, pesuruh kantor yang mau melaksanakan pekerjaan apa saja yang diminta orang di luar tugas-tugas kantor dan untuk itu ia mendapat imbalan macam-macam, sehingga dapat memberi nafkah istri dan kelima anak-anaknya. Jalan keluar yang lain, menurut pikiran Badri ialah kawin dengan seorang gadis yang punya pekerjaan. Yang lebih baik ialah kalau yang jadi pegawai negeri. Sebab pegawai negeri lebih banyak mempunyai keringanan tugas dibanding dengan pegawai swasta. Pegawai negeri yang terbaik untuk dijadikan istri ialah guru sekolah. Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat sederhana. Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang  jadi guru sekolah negeri dan orang tuanya tidak keberatan laki-laki yang berdarah campuran seperti Badri.

Kebetulan ada. Lena namanya. Umurnya lebih muda tiga tahun. Ia gadis yang menyenangkan untuk dipandangi. Sehingga Badri, waktu terasa begitu cepat berlalu selagi mereka asyik ngobrol. Tapi setiap Badri mencoba meningkatkan persahabatan ke arah percintaan dengan mengajaknya keluar malam guna menonton film, senantiasa ada alasan Lena untuk mengelak. Entah dengan alasan udara buruk, atau filmnya tidak bagus atau badannya yang kurang sehat. Hanya sekali Badri berhasil mengajak nonton film. Itu pun karena menemani adiknya yang baru datang dari kota lain. Meskipun harapannya tidak penuh terhadap gadis itu, pada waktu-waktu tertentu ia selalu menghubungi Lena. Dan ia mendapat sambutan yang hangatnya tak pernah menurun. Akan tetapi, tibalah satu bencana. Ketika suatu malam Badri bertandang kembali, Lena tidak membiarkannya masuk. Malah berkata seperti hendak mengusirnya.

"Jangan kemari lagi!" terpana Badri mendengar ucapan gadis itu. Lebih terpana lagi dia ketika Lena menyebut nama Rosni, seorang gadis yang sering juga dibawa keluar untuk menonton film.

"Aku tidak serius dengan dia," kata Badri mengakis.

"Enak benar jadi laki-laki. Begitu sering membawa seoarang gadis keluar malam, tapi kalau ditanya oleh gadis lain, lalu dibilang aku tidak serius dengan dia," umpat Lena dengan tengiknya. Lalu sebelum Badri memberi alasan, pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Tinggallah Badri terperangah di anak tangga. Dengan loyo ditinggalkannya rumah Lena sambil mengutuki dirinya sendiri karena sering membawa Rosni keluar malam. Padahal gadis itu tidak ideal baginya. Meski wajahnya cukup cantik dengan kulitnya yang mulus seperti umbut karena usianya yang masih muda. Rosni sepuluh senti lebih pendek dari persyaratan idealnya. Lagi pula terlalu berisi. Tapi yang terutama tidak punya pekerjaan yang menghasilkan nafkah.

Sejak itu, Badri kehilangan orang yang paling menyenangkan hatinya. Ia mulai menghindari Rosni kerena ia tidak mau terlibat terlalu dalam dengan gadis itu. Ketika Rosni menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, Badri merasa bebas dari incarannya. Tapi sebaliknya, setiap ketemu Lena di mana pun juga, selalu gadis itu membuang muka. Beberapa bulan lagi usianya akan menjadi tiga puluh tahun. Usia yang cukup matang untuk menjadi seorang suami menurut pendapatnya. Ia menyadari juga sekiranya ia tidak terlalu teguh berpegang pada prinsip-prinsip hidupnya, ia akan dapat kawin pada hari ulang tahunnya itu. Asal dia mau menyesuaikan diri dengan iklim yang memengarui kehidupan masyarakat, soal gaji kecil sebetulnya bukan alasan untuk menunda perkawinan. Karena dengan gaji kecil sekalipun, orang dapat menghidupi lima sampai sepuluh nyawa. Bahkan cukup banyak rezekinya sehingga ada di antara mereka yang telah mulai membuat rumah.

Badri bukan tidak tahu cara menambah penghasilan itu. Tapi, pikirnya, kalau tidak mampu memperbaiki dunia, janganlah ikut serta lebih merusaknya. Meskipun ia telah menarik kesimpulan, bahwa laki-laki tidak pernah terlalu tua untuk memperoleh jodoh, namun jika ingat pada usianya menjelang tiga puluh tahun, timbul juga godaan yang kuat dalam dirinya untuk mencari istri. Maka mulailah ia meneliti rubrik Kontak Jodoh yang dimuat sekali seminggu dalam surat kabar di kota kediamannya. Dicatatnya seluruh gadis yang mencari jodoh melalui rubrik itu sejak penerbitan tiga bulan berselang. Catatan itu diberinya berlajur-lajur seperti pekerjaan, tinggi badan, umur, dan beberapa persyaratannya.

Ia menemukan 26 gadis yang ingin mendapat jodoh melalui rubrik itu dan 7 orang janda. Badri lebih tertarik pada gadis. Dan yang terpenting semuanya mempunyai pekerjaan. Sembilan belas di antaranya menjadi pegawai negeri. Di antara sembilan belas itu ternyata delapan orang menjadi guru. Tapi hanya empat orang yang mempunyai tinggi seperti yang diinginkan Badri. Kebetulan keempatnya tidak keberatan mendapat jodoh bukan penduduk asli daerah. Untuk memilih salah seorang, Badri menetapkan pilihan pada gadis yang lebih dulu mengikuti rubrik itu. Gadis itu berkode AX/19. Maka segeralah ia menulis surat kepada redaksi untuk membuat kontak. Selama dua belas hari menunggu balasan merupakan siksa dalam kehidupan Badri. Tapi, lima hari menunggu menjelang pertemuan pertama setelah kontak surat langsung, merupakan hari-hari yang terpanjang yang sangat menyesakkan napasnya.

Mereka akan bertemu di depan Toko Lima pada jam lima sore. Gadis itu akan mengenakan switer kuning dengan rok lembayung sebagai pengenal. Sedang Badri akan mengenakan baju batik dan pengepit segulungan majalah diikat dengan pita merah. Badri lebih cepat datang lima menit dari waktu perjanjian, karena takut kalau sampai terlambat dari waktunya. Satu menit sebelum jam lima ia telah kian gugup meskipun matanya lirak-lirik mencari-cari gadis yang berswiter kuning. Persis jam lima ia tak tahan lagi disiksa kegugupan. Lalu ia nyelonong dalam toko itu dengan maksud akan mengintip kedatangan gadis itu dari dalam toko. Ketika baru saja memasuki ambang pintu toko itu, seorang gadis berswiter kuning hendak keluar. Mereka saling tertegun dengan matanya sama-sama terbeliak. Karena gadis itu Lena. Tidak lain.

Tapi belum sempat Badri berpikir, Lena segera terpaling. Kemudian dengan langkahnya yang tergesa-gesa berlalu dari situ menyeberangi jalan. Cepat Badri menarik kesimpulan, bahwa Lena, pastilah jodohnya. Peristiwa itu bukanlah suatu kebetulan, tapi sudah diatur oleh tali nasib. Lalu dikejarnya gadis itu dengan langkahnya panjang-panjang. Dan ketika telah dekat digenggamnya lengan gadis itu kuat-kuat sambil mengiringkan langkahnya.

“Lepaskan aku,” bentak Lena seraya mencoba membebaskan lengannya dari genggaman Badri, “Nanti aku berteriak.”

Dan Badri tak percaya bahwa gadis itu akan berani berteriak di tengah orang ramai itu. Lalu katanya: “Berteriaklah.”

Di luar dugaannya. Lena betul-betul berteriak. Orang ramai segera datang merubungi mereka. Nyaris insiden yang lebih parah berlangsung. Kalau tidak seorang polisi mencegah, pastilah Badri akan dikeroyok orang banyak. Lalu keduanya dibawa ke gardu polisi terdekat. Di hadapan polisi yang memeriksa semua kartu dibuka.

“Gila kau,” kata Lena selesai membaca naskah cerpen yang baru selesai ditulis suaminya. “Masa kisah kita mau dibeberkan pada orang banyak?”

Badri merangkul pinggang istrinya sambil tertawa. Mereka sudah lama menikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat jarak kelahirannya. Mereka kawin dengan pesta yang meriah.

Dan semenjak, itu Badri tinggal di rumah mertuanya, seperti juga suami-suami lainnya di Minangkabau. Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya yang kedua lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena seni hidup bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada iklim yang membentuk masyarakat. Idealisme masa jejakanya ternyata pula suatu utopia semata. Idealisme yang membius pada orang-orang yang tidak mempunyai beban hidup kekerabatan. Sedangkan idealisme seorang laki-laki yang telah menjadi suami dan menjadi seorang ayah ialah idealisme abadi, yakni bagaimana membahagiakan istri dan anak-anak.

Dan kalau Badri sesekali membaca surat kabar yang mengisahkan perjuangan-perjuangan orang-orang untuk mencapai cita-cita, cepat-cepat Badri menutup surat kabar itu dan meletakkannya di rak kertas-kertas tua yang akan diloakkan mertuanya.

(* Cerpen menarik buah karya A.A Navis

Semarang, 28 Mei 2015

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More