Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Thursday, February 18, 2016

Keeksotisan Hotel Klasik di Jepang

Apa yang terlintas di benak minasan ketika mendengarkan frasa “hotel klasik”?

Apakah hotel yang terkesan zaman dulu banget? Atau hotel yang bernuansa Eropa banget karena berhubungan erat dengan masa kolonial? Atau hotel tradisional kuno? Atau jangan-jangan hotel yang sudah lama, lemah, dan lapuk diterpa zaman? Hihi.^^

Yup, jawabannya ada di sekitar kalimat yang sudah saya terangkan di atas. Hotel klasik yang bercita rasa Eropa, dibangun di zaman penjajahan dulu serta biasanya memiliki prestise tinggi di kalangan bangsawan maupun orang terkemuka dunia lainnya. Nah, di sini saya akan menjelaskan empat hotel tersebut yang ramai digandrungi wisatawan yang menginginkan suasana nostalgia.

kayak.com

1.Hotel Nikko Kanaya (日光金谷ホテル) yang dibuka pada Juni 1873 dan terletak di Nikko, Prefektur Tochigi, Jepang dan merupakan salah satu oldest western-style hotel di Jepang. Pada masa lalu banyak diplomat luar negeri dan para intelektual yang mengunjungi hotel ini untuk menghindari rasa gerah dan panas di pusat kota Tokyo. Orang terkenal seperti Dr. Albert Einstein and Helen Keller pun pernah bermalam di hotel ini. Jika mengunjungi Hotel Nikko Kanaya dijamin kita bisa merasakan perpaduan antara gaya Jepang dan Barat lewat keindahan arsitektur bangunannya.

 us.jnto.go.jp

2.Hotel Hakone Fujiya Di Hakone, Jepang, terdapat salah satu hotel klasik yang dikenal sejak tahun 1878 yang memiliki banyak tamu istimewa seperti Charles Chaplin, Helen Keller, John Lennon, Pangeran Albert (kelak menjadi George VI) Inggris, Pangeran Swedia yang juga Putra Mahkota serta rombongannya, Kaisar Showa, dan masih banyak lagi. Selain itu, para pengunjung dapat mengamati keindahan arsitektur bangunan dan dapat menerima pelayanan level “bangsawan” yang diberikan oleh pihak hotel demi mengisahkan keeksotisan dan sejarah panjang mengenai hotel klasik tersebut. Hotel ini terletak tepatnya di Miyanoshita, di tengah area Hakone, sehingga memudahkan perjalanan antar daerah, di mana para turis lebih memilih untuk berwisata di area Hakone atau berbelanja di Gotemba Outlet Mall.

tripadvisor

3.Hotel Karuizawa Mampei “Hotel Mampei” di Karuizawa Jepang adalah hotel klasik yang memiliki sejarah dan tradisi yang panjang serta terletak di daerah yang bersuasana hijau. Dibuka pada tahun 1894 sebagai hotel bergaya Barat tetapi kemudian didekorasi ulang menjadi penginapan ala Jepang tahun 1764. Yang menarik tentang hotel ini ialah memiliki atmosfer tersendiri mengenai “kejadulan” serta kita dapat menikmati kenyamanan dengan berbagai pelayanan ramah di waktu yang bersamaan. Hotel ini sangat dicintai oleh banyak pengunjung domestik maupun mancanegara. Contohnya saja John Lennon  yang menghabiskan empat musim panasnya di sini sejak tahun 1976 hingga 1979 bersama istrinya yang berasal dari Jepang serta putranya. Pada tahun 1972 Perdana Menteri Tanaka serta Asisten Presiden Amerika Kissinger mengadakan rapat di ruang Sakurano-ma di Hotel Mampei. Dari tahun 1945 ke 1952 seusai perang dunia, hotel ini diakomodasi oleh Amerika sehingga sebagai penyesuaian diri, beberapa staf pekerja yang berasal dari Jepang juga masih menjalani pelatihan budaya untuk meningkatkan kemampuan mereka berbahasa Inggris.

Bagaimana minasan, mau memilih menginap di mana? Yang pasti di manapun akan terasa seru dan menyenangkan asalkan isi kocek memadai, hehe.^^

Semoga bermanfaat! :D

Wednesday, February 17, 2016

Bromo: Gunung Berapi dan Lautan Pasir yang Indah

 
Ada tidak dari kawan-kawan yang menjadikan akhir pekan sebagai ajang untuk menjadi liburan? Ya, ajang pergi-pergi ke tempat wisata begitu. Barangkali tidak sedikit di antara kawan-kawan yang begitu ya? Tapi kalau aku sebagai mahasiswa yang masih minta duit sama orang tua, pergi-pergi (jalan-jalan) hanya sebatas jika ada kesempatan dan pastinya juga ada uang (meski beberapa perjalanan tidak harus membawa uang, tapi setidaknya bawa uang walaupun sisa-sisa uang saku bulanan untuk jalan-jalan). hehe


Celoteh kali ini akan membahas mengenai Gunung Bromo (2770 Mdpl). Pasti sudah banyak yang tahu dan sering berwisata ke sebuah gunung di Jawa Timur ini ya? Jujur nih, ini pertama kali aku ke gunung yang dekat sekali dengan Suku Tengger ini. Alhamdulillah aku bisa pergi-pergi ke Kawasan Gunung Bromo karena ada kesempatan dan gratis alhamdulillah.

Tepatnya tiga tahun lalu di Novermber-Desember bersama teman-teman Forum Unit Kegiatan Mahasiswa Unnes, aku untuk pertama kali melihat keindahan pemandangan di kawasan Gunung Bromo. Bagi kamu yang pernah ke Gunung Bromo pasti setuju dengan pendapatku kalau Gunung Bromo dan kawasan yang meliputinya itu indah. Iya, kan? 

 
Siapa yang tidak bersyukur menjadi saksi keindahan alam Indonesia. Pagi hari aku berangkat dari tempat aku menginap di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo menuju puncak Pananjakan. Di sana cahaya fajar bagai lukisan berwarna keemasan menghiasi kawasan Gunung Bromo begitu memanjakan mata.


 Kemudian, lautan pasir dan Gunung Bromo dengan uap kawah putihnya seperti secangkir kopi panas dengan amparnya. Setelah turun dari puncak Pananjakan dilanjutkan menuju puncak Gunung Bromo. Sebelum sampai puncak, kita akan dihadang oleh lautan pasir. Kemudian jika angin cukup kencang, kadang terjadi badai pasir juga (aku sarankan membawa kacamata).

Menurut saudara kembarku yang sudah manaklukan gunung-gunung tertinggi di Pulau Jawa (Semeru, Merapi, Lawu, dll), Gunung Bromo termasuk mudah untuk didaki (bahkan bisa dibilang sangat mudah). Hal ini karena ada jalur tangga yang mempermudah pendaki menuju puncak (coba ingat iklan minuman energi yang dibintangi Chris Jhon). Benar saja, tidak sampai 20 menit, aku sampai di puncak Gunung Bromo. Di atas puncak dapat terlihat uap panas kawah dari dalam gunung dan hamparan pasir yang luas.

Keindahan alam di gunung yang melingkupi empat kabupaten (Probolinggo, Malang, Pasuruan, dan Lumajang) ini lebih sempurna dengan keindahan sikap dari penduduk lokal (known localy). Penduduk lokal itu adalah Suku Tengger. Sejak sekolah, aku sudah mendengar suku yang sebagian besar adalah petani sayur ini. Akhirnya rasa penasaranku terbayar juga bertemu dan berbincang langsung dengan Suku Tengger.


 Sejak pertama kali bertemu, penampilan Suku Tengger di Kawasan Wisata Gunung Bromo mudah dikenali. Kala itu aku lihat kebanyakan laki-laki memakai ikat kepala, sarung melintang di bahu. Aku kurang tahu apakah itu kebiasaan yang hanya dilakukan oleh Suku Tengger saja atau juga masyarakat di sekitar sana. Namun, sepanjang yang aku temui di Balai Desa (ketika kegiatan bakti sosial pengobatan gratis dari Unnes di sana) Suku Tengger berpenampilan seperti itu. Berbeda dengan perempuan, mereka memakai kain (kebanyakan memakai kain jarik) yang dua ujung diikat dileher dan membiarkan ujung lain tergerai menutupi dada atau punggung (aku pikir itu berguna untuk melindungi diri dari hawa dingin di Kawasan Wisata Gunung Bromo).


Ini salah satu perjalanananku menilik wajah Indonesia di Kawasan Wisata Gunung Bromo yang mengesankan. Foto-foto yang aku ambil dari hasil jepretan sendiri semoga bisa dinikmati ya? (pernah belajar fotografi bareng sama sahabat-sahabatku sesama pegiat Pers Mahasiswa Unnes) Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi berhubung skripsi belum kelar-kelar. Sampai di sini saja celoteh perjalanan hari ini ya? Besok atau kapan-kapan lagi. Insyaallah Sampai jumpa, selamat menilik wajah Indonesia di Kawasan Wisata Gunung Bromo, Mblo! 


  Semarang, 17 Februari 2016

Thursday, February 11, 2016

Moment in Golden Week

dailyjapan
Minasan pasti pernah mendengar istilah “Golden Week” atau yang bisa diterjemahkan “Minggu Emas” bukan?

Ehem, memang sih sebatas pengetahuan umum Golden Week disebut sebagai “hari liburnya orang Jepang”. Nah, apakah hanya itu?

Ditelusur dari sejarahnya, Golden Week adalah periode di akhir bulan April hingga minggu pertama bulan Mei di Jepang yang memiliki serangkaian hari libur resmi. Sebutan lainnya ialah Ōgata renkyū (大型連休, liburan berturutan skala besar) atau Ōgon shūkan (黄金週間, minggu emas). Periode Golden Week bergantung pada tahunnya, tapi dimulai sekitar 29 April dan berakhir sekitar 5 Mei. Bisa dibilang juga Golden Week adalah musim liburan yang “kebetulan”. Hal ini karena ada empat hari libur nasional dalam periode tersebut dan ditambah dengan hari sabtu dan minggu yang memang hari libur reguler. Selain itu, perusahaan dan industri sering meliburkan para pekerjanya pada tanggal 1 Mei untuk memperingati Hari Buruh (Rōdōsai) meski di Jepang tidak masuk dalam kalender libur nasional.

golden-week/google

Adapun hari libur nasional tersebut yaitu:
1. Tanggal 29 April, Showa Day. Hari untuk memperingati ulang tahun kaisar Showa, yang meninggal tahun 1989.
2. Tanggal 3 Mei, Hari Konstitusi.
3. Tanggal 4 Mei, Greenery Day. Untuk memperingati alam dan lingkungan atau sering disebut dengan hari berkebun, karena kaisar mereka sebelumnya yang memang suka berkebun.
5. Tanggal 5 Mei, hari anak.

Istilah Golden Week merupakan salah satu contoh kosakata bahasa Jepang yang ditulis dan dibaca seperti bahasa Inggris tapi merupakan istilah bahasa Jepang (wasei-eigo). Setelah pemerintah Jepang menetapkan undang-undang hari libur pada tahun 1948, gedung-gedung bioskop kebanjiran penonton yang menghabiskan hari libur di akhir bulan April dan minggu pertama bulan Mei dengan menonton film. Pada waktu itu siaran televisi belum ada dan rakyat senang menghabiskan liburan dengan pergi menonton bioskop, berbelanja di toko serba ada, atau bepergian ke tempat wisata yang dekat-dekat bersama keluarga maupun teman.

Tentu saja, kesempatan yang sangat langka dan hanya terjadi sekali dalam satu tahun ini pantas disambut dengan penuh suka cita dan merupakan hari liburan yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang, mungkin padatnya bisa dibilang hampir sama dengan fenomena libur lebaran di Indonesia karena banyak yang pulang ke kampung halaman laiknya orang Indonesia yang tengah mudik. Pada waktu Golden Week ini, travel dan hotel menjadi full booked, kereta api dan shinkansen dipenuhi dengan penumpang hingga sebagian harus berdiri, dan jalan bebas hambatan menjadi macet. Maka dari itu kebanyakan juga ada yang memilih untuk berlibur ke luar negeri, karena berlibur di dalam negeri tidaklah menjadi lebih murah, bahkan cenderung lebih mahal. Anak-anak muda kelihatannya juga demikian karena apabila setiap Golden Week hanya nongkrong di Shibuya, Harajuku, Shinjuku ataupun Akihabara mungkin sudah terlalu mainstream, hoho.^^

Selain itu, cuaca yang sejuk di waktu Golden Week –karena tidak terlalu dingin dan tidak panas- dimanfaatkan untuk penyelenggaraan matsuri atau festival di berbagai daerah di Jepang, yaitu Naha Hari Festival, Hakata Dontaku, Festival Bunga Hiroshima, Hamamatsu Matsuri, serta Hirosaki Sakura Matsuri. Wah, kebayang banget kan ramenya dan sesaknya Jepang minasan?^^

Hmm hmm, dibandingkan Indonesia yang memiliki banyak waktu liburan serta “hari kejepit” bukankah kita lebih sering memiliki masa rileks di tengah waktu bekerja atau sekolah?

Mengapa kita malah tidak semaju dan secemerlang Jepang yang terkesan “full and crowded” tersebut? Hayo hayo hayo :3

Yuk minasan, let’s thinking and changing for better life! :D

Wednesday, February 3, 2016

Kendala Apa yang Dihadapi saat Mengerjakan Skripsi?

bakomubin.com
Ada beberapa hal memang sulit, tapi pantas untuk dikerjakan. 

Jalan kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) nampak begitu lengang. Bukan karena slogan Kampus Bebas Kendaraan (yang sekarang menurutku perlu digalakkan lagi), namun jalanan lengang karena mahasiswa sedang libur semester yang masih berlangsung sampai 29 Februari nanti.

Berbeda di hari aktif kuliah di Unnes yang akan nampak lebih banyak mahasiswa kumpul di gazebo kampus, nongkrongin Wifi di Perpus Pusat, antri di depan ATM, beli makan di Warteg, sampai jajan es Dawet Ayu di dekat embung Unnes (eh karena kebijakan kampus -yang aku kurang tahu alasan pastinya apa- pedagang kaki lima sekarang sudah tidak boleh berjualan di sana. Kalau ada yang tahu, sekarang Mas Penjual Es Dawet Ayu pindah jualan di mana ya? Udah lama tidak beli Es asal kota kelahiranku itu).

Hari ini barangkali kebanyakan lalu lalang di kampus adalah mahasiswa yang sedang menyusun skripsi atau mahasiswa yang sedang ada kegiatan organisasi. Berbicara skripsi, hari ini aku ke kampus lagi. Lama aku tidak "nampak" di kampus, ada rasa rindu juga untuk berada di sana. Seperti kita kadang rindu akan rumah (ibaratkan Gedung B4 sebagai rumah), rindu itu bukan karena barang-barangnya, namun orang yang ada di dalamnya. Mereka seperti dosen, kawan-kawan seperjuangan, dan orang-orang lainnya yang pernah mengisi di hidupku di sana.

Tak hanya itu, saat aku melihat gedung itu. Aku seperti melihat diri di masa lalu. Waktu masih aktif kuliah, setiap pagi jika ada kesempatan, bertegur sapa dengan ibu paruh baya behijab yang menjadi petugas kebersihan di sekitar gedung. Tidak cukup di situ, aku juga melihat diri sedang mengikuti kuliah (sambil mengantuk) di kelas-ini benar-benar kebiasaan buruk. Setelah kelas selesai dan sudah masuk waktu shalat, aku antri shalat di Mushala sederhana (yang dikelola oleh kawan-kawan Rohis Lire Kaiwa) di pojok gedung B4 bersama kawan-kawan. Selepas itu, bercanda dengan kawan-kawan di bawah tangga gedung B4, atau duduk di tangga samping dekanat Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Lalu, kadang juga jika jeda kuliah masih panjang, memilih ke perpustakaan jurusan yang menjadikanku kenal dengan penjaga perpustakaan Mas Kholid (kalau Unnes ada reward untuk penjaga perpustakaan terramah, pasti lelaki beberapa bulan lalu menikah ini masuk nominasi).

"Hei... mana oleh-olehnya?"

"Oleh-oleh?" jawabku bingung.

"Iya, kabarnya kamu udah sampai ke Jepang," canda  Mas Khalid padaku yang heran sudah lama tidak pergi ke perpustakaan jurusan.

"Hm... aamiin... hehe...." sambil meringis mengamini, menanggapi candaan dari Mas Kholid.

Langkah demi langkah kuyakinkan diri menaiki tangga Gedung B4 Jurusan Prodi Pendidikan Bahasa Jepang, Unnes. Aku kenal betul gedung yang aku datangi ini, hanya saja cat baru yang digunakan memberi kesan berbeda. Warna putih terang memberi kesan lebih dinamis bagi pengunjung di sana. Aku masih menaiki tangga. Tangga yang tidak begitu tinggi itu kenapa begitu berat rasanya untuk kunaiki? Agaknya bukan karena banyaknya anak tangga, namun kurasa karena banyaknya beban pikiran buruk yang kubangun sendiri.

Pikiran buruk macam apa yang kubangun? Ya apalagi, tentu saja pikiran akan dimarahi dosen (walaupun nyatanya bukan kemarahan yang aku dapatkan, tapi nasehat yang menguatkan). Hal itu memang laik aku terima atas tindakanku selama ini. Bayangkan saja, sejak pertengahan Mei (tahun lalu) itu berarti hampir satu tahun aku tidak menginjakan kaki ke kampus untuk bimbingan. Memang benar-benar kebangetan bukan? 

Apa yang aku lakukan ada alasan. Namun, alasan-alasan yang kubangun sendiri setelah aku renungi itu hanya bentuk keegoisan diri. Pertama, alasan bekerja  paruh waktu (arubaito). Ketika alhamdulillah orang tua masih bisa memberi nafkah, penting mana mengerjakan skripsi sama bekerja? Tentu saja mengerjakan skripsi. Cari pengalaman? Boleh-boleh saja, tapi jika berlarut-larut kewajiban tidak dikerjakan itu tetap namanya kebangetan.

Perlu sebagai pelajaran diri, jika memang mau arubaito boleh saja. Namun, harus bisa bagi waktu antara bimbingan dan arubaito.  Sebenarnya aku bisa arubaito sambil bimbingan karena Mbak Ratna sang pemilik toko memperbolehkanku untuk izin bimbingan sambi bekerja. Tapi lagi-lagi karena keegoisanku, aku menyia-nyiakan kesempatan itu.

Kedua, alasan sakit mata. Bolak balik rumah sakit selama satu bulanan memang cukup menyita tenaga dan waktu. Tapi masa iya, sampai tidak bimbingan. Emang cek darah sampai memakan waktu berhari-hari, nggak kan? Tapi menurutku penyembuhan juga butuh waktu. Nah daripada di kos, mending waktu penyembuhan sambil ke kampus ketemu kawan lama. Penyembuhan kan bukan hanya dari obat dokter tapi transfer energi positif orang lain juga bisa membantu.

Nah kalau kumpul sama kawan-kawan kan bahagia, kalau udah bahagia rasa sakit berkurang. Jadi mudah sembuh deh. Bagaimana dengan alasan : kawan lamaku udah banyak yang lulus. Nah meski tinggal sedikit kawan seangkatan, bertemu dengan kawan yang sama-sama belum lulus kan juga ibadah, saling menguatkan, saling tukar pikiran. Hmm... betul juga ya? Alhamdulillah sakit mataku udah sembuh, jadi alasan sakit mata sampai tidak bimbingan adalah alasan egois selanjutnya. Semoga Allah Subhanahuwata`ala menjaga penglihatanku. aamiin insyaallah

Setelah aku pulang bimbingan kemudian menelisik isi hati, alasan utama aku lama tidak bimbingan adalah bingung memulai dan dilanda rasa malas. Benar saja, lama aku merasa galau bingung bagaimana memulai mendapatkan masalah untuk skripsi. Sampai akhirnya mendapatkan jalan untuk studi pendahuluan, lalu malas menyelesaikan. Hal itu karena data studi pendahuluanku berupa rekaman, dan aku perlu berjam-jam mendengarkan ulang. Belum lagi mengalihkan ke bentuk tulisan (itu aku lakukan sampai berhari-hari).

Namun, Alhamdulillah, akhirnya sejak jarang mendengarkan musik melalui headset dan kuhapus musik galau yang kupunya (diganti dengan beberapa murotal Alquran biar nggak jadi jomblo yang galaunya keterusan hehe)telingaku bertahan (meskipun berasa berdengung) digunakan untuk mendengarkan, mengulang, dan megalihkan suara dosen ke dalam teks selama berjam-jam. Dan ternyata rasa malas itu aku lawan, alhamdulillah Allah Subhanahuwata`ala memberi kekuatan untuk menyelesaikan studi pendahuluan.

Jadi, setelah mendapat bimbingan dan nasehat dari Ai sensei dan Andi sensei, begitu juga arahan dari Kaprodi baru Silvi sensei, aku sadar ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Ada hal yang urgent dan importan untuk dikerjakan bukan? Meski demikian, jika aku diminta untuk berhenti menulis di blog, aku katakan maaf belum bisa. Aku belum bisa berhenti menulis celoteh di blog-ku ini. Mau bagaimana lagi, meskipun tulisanku berantakan, ini termasuk hobi. :) Akhir kata, がんばれば、できる!
(Ganbareba, Dekiru!)。

Unnes Sekaran, Semarang 3 Februari 2016


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More