Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Sunday, June 14, 2015

Pernikahan

Sumber: http://toko-muslim.com/



Mencintaimu dengan ikhlas, tak kukenal kata lelah, meski berapa lama aku menunggu, meski rindu kadang terlalu menggebu, Allah ada di sampingku. Tiada yang salah dari mencintai seseorang, bagian tersalah adalah ketika aku tidak berharap kepada-Nya.

Tidak cukup berlebihan menurutku jika aku menyimpulkan bahwa bulan ini adalah bulan pernikahan. Pasalnya, pada bulan yang sama empat orang kawanku menikah, bahkan dua undangan tertera hari yang sama. Tidak hanya itu, di daerah Sekaran-Banaran saja, dalam satu bulan beberapa tenda dihiasi janur kuning muncul, memakan tempat sepertiga lajur jalanan umum, menarik orang untuk sekadar melirik ke arah pelaminan.

Sebagai jomblo di usia siap menikah, selain hobi berceloteh di blog sebagai upaya berkarya (sebenarnya lebih ke upaya berdamai dengan diri jika galau melanda), aku juga suka mendatangi pernikahan kawan. Seperti kemarin, beserta teman-teman organisasi di kampus, aku datang ke pernikahan kawanku se-organisasi. Sambil makan sate, dan aneka hidangan yang disajikan, aku melihat sepasang raja ratu sehari itu dari kejauhan. Sungguh membahagiakan, melihat dua insan telihat merona bahagia bersanding di pelaminan sana.

Kelihatannya kebahagiaan dalam pernikahan itu sederhana. Tidak memandang semegah apapun atau sesederhana apapun sebuah walimahan, dari semua pesta pernikahan yang aku kunjungi, semua orang berbahagia. Seakan senyum mereka menular ke semua tamu yang ada. Termasuk aku.

Ya, termasuk aku juga bahagia. Bagaimana aku bahagia bukan hanya karena melihat dua insan di pelaminan itu bahagia. Namun, lambat laun aku melihat diriku sendiri yang memakai kebaya dan jarik yang indah itu. Tidak hanya itu, dengan wajah yang merona, aku bersanding dengan pangeran yang aku damba. Sungguh terlalu.

Benar saja, harapanku kepada seseorang yang terlalu besar membuatku menjadi perempuan yang aneh. Menikmati rasa cintanya sendiri. Namun sebelum keputusan itu diambil, pernah suatu waktu saking kumerindu, berupaya untuk menghubungi seseorang yang aku damba itu. Salah satunya, dengan pura-pura mengirim pesan salah kirim. Atau, secara terbuka mengirim pesan berisi isi hatiku (aneh bukan?).

Salah satu contohnya satu bulan lalu, aku juga ingin sekali menghubunginya. Hal itu ketika ada yang bilang suka padaku dan bahkan mengajak menikah denganku. Namun niatku untuk melampiaskan isi hati, aku urungkan. Biarlah nantinya aku meminta petunjukNya, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan lelaki yang inginku ceritakan padanya.

Kegalauan akut itu aku rasakan dulu, sebelum aku belajar mengatur rasa yang kupunya. Nyatanya, tidak semua rasa harus diungkap. Ada rasa tenang, ketika menyimpan perasaan. Mencinta dalam diam. Cukup tersenyum dan mendoakan, ketika tiba-tiba melesat wajah sang pujaan di pikiran.

Aku sadar, seberapa banyak kalimat yang aku tulis kala itu untuk menjelaskan betapa rindunya aku, itu tidak perlu. Karena hakekat cinta itu bukan menjelaskan tapi memahami. Memahami apakah benar-benar rasa yang kupunya itu cinta, atau hanya nafsu belaka.

Maka dari itu, saat ini aku tak begitu menggebu untuk bisa berkomunikasi dengannya. Tidak gelisah jika tidak dapat kabar darinya. Cukup jika Allah Subhanahuwata`ala mempertemukanku dengannya secara tiba-tiba, itu sudah membuatku bahagia. Apalagi tanpa disangka-sangka Allah Subhanahuwata`ala mengizinkan ia mengutarakan janji suci membina sebuah keluarga bersama (ini ngarep pake banget).

Ah, tapi sudahlah tugasku bukan mengejarnya, biar Allah Subhanahuwata`ala yang mendekatkan diriku padanya. Karena, jodohku adalah cerminanku. Tugasku adalah menjadi pribadi yang lebih baik, mencari ilmu bagaimana jadi istri yang baik. Sebegitu jodohku, calon imamku juga akan dibuat baik oleh Allah Subhanahuwata`ala. Aamiin Insyaallah

Toh, sesemangat aku mengejarnya, hanya lelah yang kurasa jika aku malah semakin jauh dari Sang Mahapencipta. Yang aku butuhkan adalah cinta sederhana. Cinta yang dapat mendekatkan diri ini menuju surgaNya. Tanpa itu, aku pikir-pikir dulu. Karena, agama sebagai pondasinya sebagai bekal raja dan ratu sehari menghadapi kenyataan hidup mereka selanjutnya. Yaitu, ujian hidup yang akan dijalani bersama.

Aku butuh pendamping hidup yang bisa membimbingku menuju SurgaNya. Pendamping hidup yang sadar bahwa hidup tak layak dijalani sendirian. Ya, karena kadang, di sebuah perjalanan, kita tak tahu ke mana tempat yang dituju. Namun, jika kita berdua bersama meletakkan Tuhan dalam hati, di mana pun diri ini, akan ada ketentraman jiwa kita miliki.
                                                                                   ***
Sudah sekitar satu jam aku dan rombongan di acara walimahan. Aku terlalu larut dalam imaji diriku sendiri. Sekitar pukul setengah satu siang kala itu, kami minta pamit pada yang punya gawe. Ternyata masjid tak jauh dari tempat digelarnya pesta penikahan. Aku dan rombongan memutuskan untuk shalat dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.

"Ya Allah cintakanlah aku kepada ia yang melabuhkan cintanya kepadaMu, yang bersamanya aku tak takut untuk bermimpi dalam jalan yang Engkau Ridloi," salah satu doa aku panjatkan setelah shalat Dzuhur kala itu.

Semarang, 14 Juni 2015

Baca juga celoteh Hujan dalam Ingatan


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More