Kursi belakang terisi penuh. Enam orang lelaki duduk berjejer, mengisi kursi paling belakang bus jurusan kota Dawet Ayu-kota Lunpia. Aku duduk di samping jendela kursi deratan tengah. Semua kursi terisi. Kecuali satu kursi di sebelahku ini. Salah satu lelaki yang duduk di kursi seberangku membuang sisa tembakaunya ke lantai.
Kini bus berhenti, aku lihat ke luar jendela. Ah, belum sampai tujuan rupanya. Bus yang sering berhenti membuatku pusing. Aku ambil sisa permen jahe yang aku beli di terminal bus sama Bapak tadi. Pelaku seni jalanan datang silih berganti. Aku tak peduli. Seorang anak kecil kira-kira berusia dua belasan tahun menyodorkan selembar amplop putih kecil. Ada kalimat dengan tinta hitam tertulis di belakangnya.
“Assalamu`alaikum, para dermawan tolong bantu kami”. Tak luput juga nama terang bocah kecil tadi.
Aku makin tak peduli. Aku sakit sekarang. Hanya ibu-ibu yang duduk di kursi seberang
menawarkan roti kepada bocah kecil itu.
“Ndu`, iki tak kei.”
“Enggak mau Bu.”
“Argh, dia butuh uang Bu, bukan jajan,” batinku lagi seraya kesakitan.
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak menyusuri lorong bus berebut menawarkan barang dagangannya.
“Yang minum, yang minum.”
“Arem-Arem Mbak?”
Aku menolak. Kini seorang perempuan menduduki kursi kosong di sebelahku. Bau minyak wangi perempuan muda dengan pakaian serba mini dan berlipstik merah tebal membuatku bertambah mual. Sungguh, aku tak terbiasa memakai parfum. Alergi.
Ah kiranya bus ini merupakan miniature kehidupan. Sesak. Tujuh milyar manusia mencari sesuap nasi, harapan yang berdesakan dan saling bertolak kepentingan.
“Ungaran-Ungaran,” kondektur memberi isyarat.
Hujan menyambut. Gersang yang kurasa lepas bersama hujan yang mengguyurku. Bus berjalan menjauh dari hadapanku. Sudah ada angkot di seberang sana, aku akan meneruskan perjalananku lagi. Langkahku cepat menghampiri.
“Ke Universitas Negeri Semarang Mbak?” tanya Pak Supir. Aku mengangguk.
Angkot berjalan pelan, asapnya mengepul. Aku mulai mual lagi. Angkot ini lebih sesak dari bus tadi.
“Nak, sesaknya perjalanan kehidupan akan terasa lapang dengan bersyukur,” kata-kata Ibu terngiang jelas.
Ditulis untuk Buletin Sastra "Keloepas" 2012
0 comments:
Post a Comment