Tim Jurnalistik SMP Islam Hidayatullah Semarang, Dokumen Pribadi |
Namun, sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan, tepatnya Pendidikan Bahasa Jepang, mau tidak mau, belajar menjadi guru Mata Pelajaran Bahasa Jepang di sekolah aku jalani di tahun berikutnya. Dan nyatanya memang benar, ada tiga hal yang perlu dikuasai pendidik yaitu menguasai materi, pedagogik, dan juga sosial.
Dua kemampuan terakhir aku bisa menyesuaikan karena selain belajar di kelas, aku juga belajar bagai mana menghadapi orang dan mengelola kelas di tempat aku berorganisasi. Seperti yang aku katakan di awal, kekuranganku adalah aku belum menguasai materi ajar. Berbeda ketika aku menjadi guru Ekstra Kurikuler Jurnalistik di SMP Islam Hidayatullah selama tiga tahun, ketika itu aku paham materi (karena aku belajar Jurnalistik di organisasi Pers Mahasiswa). Namun, untuk PPL jadi guru Bahasa Jepang, aku perlu banyak belajar tentang Bahasa Jepang dasar (basic Japannese), karena aku tidak serius belajar ketika diajarkan sensei dulu (ini menjadi salah satu penyesalanku saat ini). Waktu yang ditunggu dengan cemas namun bercampur rasa senang datang juga. Meskipun dengan materi yang pas-pasan, aku pun menjalani PPL dengan senang hati (senang bertemu orang baru).
Akhirnya, aku ingat-ingat, aku coba melihat kembali kenangan menjadi guru PPL di SMA N 10 Semarang 2013 lalu. Aku yakin betul, tidak banyak materi yang aku ajarkan (mereka punya bahan belajar sendiri), tapi aku lebih banyak berlawak ria sambil berdiri di kelas alias ber-stand up comedy. Kenapa demikian? Aku pikir, aku lihat siswa sudah diberatkan dengan Pekerjaan Rumah (PR) mata pelajaran lain yang bejibun dan membebani. Belum lagi, tidak sedikit dari siswa yang membawa masalah dari rumah baik masalah keluarga maupun lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.
Bagi kawan-kawan yang berniat menjadi pendidik, aku sarankan tidak perlu malu-malu berbagi cerita lucu, kelas bukan hanya tempat transfer materi, tapi juga tempat terapi dari rasa penat di hati, mari ber-stand up comedy! Ohya, untuk apa memasang muka sangar hanya untuk menakut-nakuti siswa agar mudah diatur di kelas. Itu tidak perlu. Siswa bukan musuh yang menguji mental kawan-kawanku para calon guru atau guru (pendidik). Pasang muka bersahabat, bukan pasang muka yang dianggap siswa sebagai orang jahat.
Di bawah ini adalah tulisan tiga tahun lalu yang aku ambil dari komunitaspendidikan.com. Aku suka tulisan mengenai pendidikan, salah satunya sebagai cara mempersiapkan diri untuk PPL di tahun berikutnya ketika teman-teman seangkatanku PPL lebih dulu (karena aku telat PPL). Ini dia Jusuf AN salah satu kontributor pada laman yang aku sebutkan tadi. Judul tulisan itu aku buat menjadi judul tulisan dalam celotehku di blog ini "Tertawa Bersama Siswa". Iya, mari tertawa bersama siswa. Selamat mendidik generasi Indonesia para pendidik muda!
***
"Saya harap nanti kalian tidak bosan dengan casing saya ini….”
Kalimat itu saya katakan ketika perkenalan dengan siswa baru. Mendengar itu, kontan mereka tertawa ngakak. Dan saya senang dan bersyukur bisa mendengar tawa mereka dan memandang wajah-wajah yang memancarkan kebahagiaan.
Di sela-sela memberikan materi pelajaran, kerap pula saya memancing agar siswa bisa gerrr. Ketika wajah-wajah mereka mulai terlihat tegang. Ketika mata-mata mereka mulai sayu dan mengantuk. Ketika konsentrasi mereka mulai pudar dan kegaduhan di kelas tidak bisa lagi dikendalikan. Pada saat-saat seperti itulah, penting bagi untuk memunculkan sense of humor-nya. Seperti komputer, otak dan pikiran mereka sekali-kali mesti di-refresh biar segar kembali.
Humor memang tidak bisa diremehkan. Minat dan perhatian para ilmuwan terhadap humor telah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak mengherankan karena humor adalah salah satu kualitas khas manusia. Bahkan, Nabi Muhammad juga dikenal humoris. Nabi kerap melontarkan humor-humor segar dalam berbagai kesempatan. Humor yang telah akrab dengan kita adalah ungkapan Nabi kepada seorang nenek bahwa di surga tidak ada wanita tua. Nenek tersebut sedih mendengar keterangan Nabi, dan kemudian Nabi mengungkapkan bahwa semua penghuni surga akan di-muda-kan, termasuk si Nenek.
Dalam tradisi Indonesia sendiri kita mengenal tokoh pewayangan Punokawan. Sementara dalam tradisi Sufi kita mengenal kisah-kisah Nasrudin Khoja dan Abu Nawwas. Kiai dan Ustadz juga sering menyisipi humor dalam ceramah-ceramahnya.
Kaitannya dalam dunia pendidikan, humor bisa dijadikan salah satu cara interaksi dan komunikasi yang menyenangkan antara guru dengan siswa. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan sisipan humor ternyata bisa memberikan dampak baik bagi peningkatan kualitas pembelajaran. Humor yang identik dengan senyum dan tertawa dipercaya bisa membuat orang lebih merasa nyaman, menghilangkan rasa tertekan, bosan, dan membuat otot-otot wajah menjadi rileks. Selain itu, humor juga bisa meningkatkan daya ingat dan mempermudah pemahaman dalam bidang-bidang tertentu. Humor juga telah terbukti bisa meningkatkan daya afirmasi peserta didik dalam pembelajaran.
Namun demikian, di Indonesia humor dalam pembelajaran masih sering dianggap asing, bahkan dijauhi oleh para guru. Humor sering dianggap sebagai perusak suasana serius dan bisa mengurangi kewibawaan guru. Anggapan tersebut bisa jadi benar. Tetapi, efek sense of humor guru yang baik untuk meningkatkan kualitas interaksi dan kumunikasi juga tidak bisa dinafikan.
Perlu diingat, interaksi dan komuniasi menyenangkan antara siswa dan guru merupakan faktor utama dalam menerapkan strategi pembelajaran menyenangkan. Jika siswa mendapatkan stimulus yang menyenangkan maka ia akan mencapai hasil belajar terbaiknya.
Tak hanya itu, humor juga dirasa bisa memperkaya hubungan batin guru dengan siswa. Ketika guru mengajar di depan kelas, sebenarnya guru sedang berkomunikasi seara sosial dengan peserta didiknya. Suasana akan kaku dan kering tanpa humor. Kebosanan adalah salah satu penyakit yang sering muncul dan humor mujarab menyembuhkannya.
Maka dari itu, humor tidak patut dijauhi, tetapi bagaimana seorang guru meramu dan mengendalikan sense of humor-nya. Misalnya, jangan sampai guru mengeluarkan humor-humor porno di hadapan siswa. Sebab selain tidak pantas, juga akan menjadikan citra guru tersebut jadi buruk. Sekali saja guru mengeluarkan humor porno di hadapan siswa, wibawanya akan hancur dan ia tidak akan lagi disegani.
Sebenarnya humor bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari karikatur humor, cerita singkat anekdot, atau humor yang didesain khusus dalam pembelajaran, dan lain sebagainya. Sebab humor, menurut Emil Salim, adalah suatu situasi dan kondisi yang bebas nilai baku (fixed value). Humor memiliki daya rangsang untuk tertawa, namun tertawa bukun tujuan terakhinya.
Jusuf AN
Guru, senang menulis, dan jalan-jalan
***
Semarang, Minggu 6 September 2015