Ada tidak dari kawan-kawan yang menjadikan akhir pekan sebagai ajang untuk menjadi liburan? Ya, ajang pergi-pergi ke tempat wisata begitu. Barangkali tidak sedikit di antara kawan-kawan yang begitu ya? Tapi kalau aku sebagai mahasiswa yang masih minta duit sama orang tua, pergi-pergi (jalan-jalan) hanya sebatas jika ada kesempatan dan pastinya juga ada uang (meski beberapa perjalanan tidak harus membawa uang, tapi setidaknya bawa uang walaupun sisa-sisa uang saku bulanan untuk jalan-jalan). hehe
Celoteh kali ini akan membahas mengenai Gunung Bromo (2770 Mdpl). Pasti sudah banyak yang tahu dan sering berwisata ke sebuah gunung di Jawa Timur ini ya? Jujur nih, ini pertama kali aku ke gunung yang dekat sekali dengan Suku Tengger ini. Alhamdulillah aku bisa pergi-pergi ke Kawasan Gunung Bromo karena ada kesempatan dan gratis alhamdulillah.
Tepatnya tiga tahun lalu di Novermber-Desember bersama teman-teman Forum Unit Kegiatan Mahasiswa Unnes, aku untuk pertama kali melihat keindahan pemandangan di kawasan Gunung Bromo. Bagi kamu yang pernah ke Gunung Bromo pasti setuju dengan pendapatku kalau Gunung Bromo dan kawasan yang meliputinya itu indah. Iya, kan?
Siapa yang tidak bersyukur menjadi saksi keindahan alam Indonesia. Pagi hari aku berangkat dari tempat aku menginap di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo menuju puncak Pananjakan. Di sana cahaya fajar bagai lukisan berwarna keemasan menghiasi kawasan Gunung Bromo begitu memanjakan mata.
Kemudian, lautan pasir dan Gunung Bromo dengan uap kawah putihnya seperti secangkir kopi panas dengan amparnya. Setelah turun dari puncak Pananjakan dilanjutkan menuju puncak Gunung Bromo. Sebelum sampai puncak, kita akan dihadang oleh lautan pasir. Kemudian jika angin cukup kencang, kadang terjadi badai pasir juga (aku sarankan membawa kacamata).
Menurut saudara kembarku yang sudah manaklukan gunung-gunung tertinggi di Pulau Jawa (Semeru, Merapi, Lawu, dll), Gunung Bromo termasuk mudah untuk didaki (bahkan bisa dibilang sangat mudah). Hal ini karena ada jalur tangga yang mempermudah pendaki menuju puncak (coba ingat iklan minuman energi yang dibintangi Chris Jhon). Benar saja, tidak sampai 20 menit, aku sampai di puncak Gunung Bromo. Di atas puncak dapat terlihat uap panas kawah dari dalam gunung dan hamparan pasir yang luas.
Keindahan alam di gunung yang melingkupi empat kabupaten (Probolinggo, Malang, Pasuruan, dan Lumajang) ini lebih sempurna dengan keindahan sikap dari penduduk lokal (known localy). Penduduk lokal itu adalah Suku Tengger. Sejak sekolah, aku sudah mendengar suku yang sebagian besar adalah petani sayur ini. Akhirnya rasa penasaranku terbayar juga bertemu dan berbincang langsung dengan Suku Tengger.
Sejak pertama kali bertemu, penampilan Suku Tengger di Kawasan Wisata Gunung Bromo mudah dikenali. Kala itu aku lihat kebanyakan laki-laki memakai ikat kepala, sarung melintang di bahu. Aku kurang tahu apakah itu kebiasaan yang hanya dilakukan oleh Suku Tengger saja atau juga masyarakat di sekitar sana. Namun, sepanjang yang aku temui di Balai Desa (ketika kegiatan bakti sosial pengobatan gratis dari Unnes di sana) Suku Tengger berpenampilan seperti itu. Berbeda dengan perempuan, mereka memakai kain (kebanyakan memakai kain jarik) yang dua ujung diikat dileher dan membiarkan ujung lain tergerai menutupi dada atau punggung (aku pikir itu berguna untuk melindungi diri dari hawa dingin di Kawasan Wisata Gunung Bromo).
Ini salah satu perjalanananku menilik wajah Indonesia di Kawasan Wisata Gunung Bromo yang mengesankan. Foto-foto yang aku ambil dari hasil jepretan sendiri semoga bisa dinikmati ya? (pernah belajar fotografi bareng sama sahabat-sahabatku sesama pegiat Pers Mahasiswa Unnes) Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi berhubung skripsi belum kelar-kelar. Sampai di sini saja celoteh perjalanan hari ini ya? Besok atau kapan-kapan lagi. Insyaallah Sampai jumpa, selamat menilik wajah Indonesia di Kawasan Wisata Gunung Bromo, Mblo!
Semarang, 17 Februari 2016