Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Thursday, November 21, 2013

Bagaimana Kabar yang Terlepas?

Bagaimana kabar yang terlepas?

Akankah hujan menyatukan kita untuk bermain di kala hujan tanpa cemas?

Toki o kakettehoshii!

(Kota Atlas,101112)

Sumber foto Internet

Saturday, November 16, 2013

Ujian (Kejujuran) Nasional


Dokumentasi Pribadi

Kejujuran tak selalu mendapat reaksi positif, malah sebaliknya kejujuran mendapatkan cemoohan. Contoh nyata seperti Ibu Siami dan Alif (2011), anaknya sempat menjadi musuh bersama bagi masyarakat di sekitar mereka karena melakukan praktek kejujuran dalam Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Begitu juga seseorang guru honorer yang dengan jujur membuka praktek politisasi pendidikan, malah tersingkirkan dari masyarakat.

Masyarakat menyadari, bahwa kejujuran adalah sebuah nilai luhur. Namun, yang mengherankan dalam kasus ini kejujuran menjadi musuh bersama. Apa yang dialami Ibu Siami beserta Alif, anaknya dan guru honorer ini merupakan peristiwa gunung es, masih banyak kasus serupa yang tidak terkawal oleh media.

Saya kira, Ibu Siami dan Alif serta guru honorer tadi adalah orang-orang yang out of the box, orang-orang yang mau keluar dari sistem. Ya, sebuah sistem keyakinan yang menurut hati nurani mereka keliru. Agus Nuryanto dalam bukunya Mahzab Pendidikan Kritis mengambil penyataan Joe Kincheloe, 2005 mahzab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan. 

Agus juga menyatakan, di suatu sisi sekolah dilandaskan pada satu visi membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak menumbuhkan ruang bagi tumbuhnya ruang subyek yang kritis, toleransi, dan multi-kulturalisme. Ibu Siami, Alif dan guru honorer tadi contoh nyata, bahwa sekolahnya tidak memiliki ruang bagi mereka yang kritis, malah sebaliknya semakin terpinggirkan.

Sekolah sebagai tempat menjalankan pendidikan, seharusnya mentrasformasikan nilai-nilai luhur, seperti kejujuran. Tapi kenyataanya malah sebaliknya, sekolah menjadi praktek ketidakjujuran, dan itu seolah-olah terlegitimasi. Seperti kasus, Ibu Siami dan Alif, sekolah melegitimasi ketidakjujuran dengan memperbolehkan dan bahkan menganjurkan untuk saling mencontek ketika UN. Pemecatan guru honorer tadi juga tindakan yang demikian. Sekolah membiarkan praktek ketidakjujuran, dan membunuh karakter para pelaku kejujuran.

Sekolah kehilangan esensi pendidikan, gagal menanamkan budi pekerti. Nilai menjadi barang berharga, yang diagung-agungkan. Orang tua bisa jadi berbangga hati ketika nilai kognitif anak mereka di atas rata-rata, tapi tak tahu dari mana anak itu mendapatkannya. Ibu Siami, mencoba menanamkan budi pekerti kepada anaknya, dan itu berhasil. Sedangkan sekolah telah gagal melaksanakannya.
Ibu Siami barang kali tahu bahwa hubungan pribadi di lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan sosial anak. Penelitian (Hazen dan Shaver, 1987; Fisher, 1990) menunjukan bahwa pendidikan anak yang digunakan oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak, terutama pada tahun-tahun awal kehidupan.
Pengalaman pada masa kanak-kanak mempengaruhi perkembangan pada masa berikutnya. Begitulah yang diugkapkan Freud salah satu pakar psikologi. Hal ini juga diamini oleh Erik Ericson, percaya bahwa cara-cara seseorang menyelesaikan masalah perkembangan kehangatan, kepedulian dengan orang tua atau kemampuan berfikir dan bertindak secara otonomi merupakan faktor penting bagi perkembagan berikutnya.
Teori di atas membuktikan, orang tua sangat berpengaruh dalam perkembangan anak. Ibu Siami berhasil memberikan pemahaman budi pekerti kepada anaknya ditengah-tengah sikap sekolah dan masyarakat yang keluar dari nilai-nilai luhur.

Dalam hal ini dari tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial, yaitu keluarga, lingkungan, dan masyarakat, ternyata faktor lingkungan dan masyarakat memperburuk pendidikan nilai. Lingkungan sekolah seharusnya mempunyai kesadaran untuk memberikan pendidikan nilai tersebut, dan begitu juga masyarakat. Tapi pemahaman terhadap esensi pendidikan ini yang membuat kabur pentingnya pendidikan nilai.

Esensi pendidikan bukanlah mengagungkan ketercapaian nilai kognitif, tapi afeksi menjadi lebih urgen untuk ditanamkan pada siswa. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, dan tubuh anak. Jadi? Akankah kualitas pendidikan kita hanya diimplementasikan pada secarik kertas saja?

Sumber foto Dok. pribadi

Daftar Pustaka

Achmad Munib, dkk, 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
Nuryanto, Agus, 2008. Mahzab Pendidikan Kritis. Jogjakarta: Nailil Printika.
Rifai, Achmad dan Catharina Tri Anni. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
Seifert, Kelvin. 2010. Managemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan Managemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik. Jogjakarta: IRCiSoD.
-------, 2005. Jurnal Telaah Volume 1 Bulan April, Pendidikan Pembebasan. Semarang: Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa.

Wednesday, November 13, 2013

Asyik Belajar Jurnalistik

Bulan Ramadhan tidak hanya diisi dengan acara buka dan tarawih bersama bagi kaum muslim. Namun, kegiatan positif lainnya juga bisa dilakukan meski dalam keadaaan menahan lapar dan haus saat berpuasa. Seperti halnya Mahasiswa Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang melakukan kegiatan Pesantren Jurnalistik di sejumlah SLTP se-Kota Semarang, Selasa-Senin (16-22/7).

Menurut Ketua Panitia Uswatun Chasanah, kegiatan ini meliputi pelatihan jurnalistik gratis di sekolah dengan materi-materi kejurnalistikan seperti keredaksian, reportase, ilustrasi dan layouting. Manurut Uswatun, kegiatan ini bertujuan untuk memberikan ilmu jurnalistik kepada siswa agar dapat menghidupkan dan atau mengembangkan kegiatan jurnalistik di sekolah. “Setelah mengikuti pesantren peserta diharapkan bisa membagikan ilmu kepada tman-teman yang lain dan bisa mengelola media sekolah secara mandiri,” jelas Uswatun, Kamis (18/7).

Bagi sekolah, pelatihan ini menambah ketrampilan siswa dan juga sebagai dasar untuk mengembangkan jurnalistik di sekolah. “Kami mempunyai majalah bernama Garasi, semoga dengan pelatihan jurnalistik bisa menciptakan siswa yang lebih terampil dalam membuat media sekolah,” ungkap kepala sekolah SMP N 27 Semarang Haryanto Dwiyantoro, Kamis (18/7).

Meskipun di bulan Ramadhan, peserta antusias mengikuti pelatihan jurnalistik ini. Peserta mengaku, mendapat pengalaman bisa lebih mendalami jurnalistik. “Saya jadi lebih mengetahui tentang jurnalistik,” ungkap Ardine Dharma A. Salah satu dari 31 peserta Pesantren Jurnalistik di SMP N 27 Semarang, Kamis (18/7).
Penasaran mengenai jurnalistik membuat Ardine mengutarakan pertanyaan lanjutan mengenai jurnalistik. “Apakah jika mau menjadi reporter, kalau kuliah harus jurusan jurnalistik?” tanya Ardhine kepada pemateri.

Mahasiswa BP2M yang menjadi Pemateri Keredaksian M.H. Latief mengungkapkan, seorang reporter tidak harus dari jurusan jurnalistik yang penting ia bisa menulis dan berani.
Tidak hanya di sekolah negeri, pesantren jurnalistik juga dilakukan di Sekolah Anak Bangsa, sebuah sekolah alternatif di Semarang. Peserta Jurnalistik di sekolah dengan metode homeschooling (sekolah rumah) yang diprakarsai Kak Seto ini tidak kalah menarik.

Peserta melakukan wawancara dengan teman-teman mereka, dan kemudian membuat gambar. Ketika ditanya oleh Pemateri mengenai siapa yang ingin menjadi fotografer, Tito siswa dari sSekolah Anak Bangsa ini mengacungkan tangan. “Saya suka foto pemandangan,” ungkap Tito.

Menurut Kepala Sekolah Anak Bangsa Semarang M. Iqbal Birsyada, pelatihan ini mendukung sekolah dalam mengembangkan minat dan bakat siswa yang memang menjadi tujuan sekolah.

Melatih Kepercayaandiri

Masih menurut Uswatun, selain untuk membagi ilmu jurnalistik kepada siswa, kegiatan Pesantren Jurnalistik ini merupakan ajang pengembangan diri anggota BP2M. Salah satunya, untuk melatih anggota lebih trampil ketika tampil di depan khalayak.
Sejumlah 25 anggota BP2M menjadi pemateri pelatihan ini. Setiap anggota mempunyai spesifikasi materi masing-masing sesuai dengan bakat dan minta. Hal tersebut mempermudah dalam menentukan pembagian pengampu materi yang sebelumnya melakukan microteaching.

Kegiatan Pesantren jurnalistik ini merupakan tahun ketiga setelah diawali pada tahun 2011 lalu. Pada awalnya, kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi kekosongan kegiatan ketika Bulan Ramadhan dengan kegiatan kebaikan. Akhirnya Pesantren Jurnalistik pertama kali diselenggarakan di SMA Sederajat se-Kota Semarang. Kemudian di tahun berikutnya dilakukan di SLTP se-Kota Semarang, berlanjut di Bulan Ramadhan tahun ini.

Ada 9 SLTP sederajat di Kota Semarang yang mengikuti kegiatan Pesantren Jurnalistik tahun ini, yaitu: SMP N 7 Semarang, SMP N 19 Semarang, SMP N 27 Semarang, SMP N 30 Semarang, SMP N 35 Semarang, MTs Al-Asror, MTs Al-Khoiriyyah, dan Sekolah Anak Bangsa Semarang.







Sumber foto: dokumentasi pribadi

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More