galleryhip.com |
Kamu pernah merasa kehilangan? Pasti pernah. Bagaimana rasanya? Bisa jadi sedih, sepi, dan juga bingung mau berbuat apa. Namun, kadang dengan kehilangan itulah kita disadarkan bahwa Allah Swt itu baik, Mahabaik.
Hari ini aku kehilangan tiga sahabatku di kos. Tiga perempuan Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat menemaniku sehari-hari di kos Budhe itu telah diwisuda Rabu, 25 Februari lalu. Rasanya baru kemarin namun ternyata sudah dua tahun aku satu kos dengan Dewi asal Kota Ukir Jepara, Tutik dari Batang, dan Sasya dari Purwodadi, Grobogan.
Dulu pertama kali aku masuk kuliah di Unnes (2009), sejak ditinggal penghuni ke kampung halaman setelah wisuda oleh penghuni lama, kos Budhe memang sepi. Hanya aku, kembaranku, Budheku yang seorang janda cantik, kemudian kedua putri manisnya yang masih sekolah Vivi dan Iis. Dan sampai akhirnya kos ramai dengan kedatangan Dek Tika, kemudian disusul mereka bertiga.
***
Kemarin aku menginap di kampus, dan baru siang aku balik ke kos. Hari ini Sabtu, sepulang aku dari berkegiatan organisasi di kampus, kos serasa berbeda. Dewi, Tutik, dan Sasya sudah tidak di tempat. Mereka mudik, pulang kampung. Kamar melompong menunggu penghuni baru, hanya tinggal kasur, meja, dan lemari, tak ada barang-barang mereka lagi.
Aku teringat kenangan Ramadhan yang menyenangkan, secara bergantian kami memasak untuk sahur dan buka puasa. Kurang tahu, apakah kebiasaan ini dilakukan oleh penghuni kos lainnnya. Kami memasak tidak hanya di bulan Ramadhan saja, namun di hari-hari biasa juga.
Dari Masak sampai Move On eh Kenyang Bersama
"Waaa sayur sop-e kasinan, Mbak," kata Dewi setelah mencicipi hasil masakan kami bersama. "Faktor U. Udah pengen nikah sih, hehe"lanjutnnya sambil terkekeh menambahkan kepercayaan orang Jawa tentang hubungan masakan keasinan dengan keinginan menikah si pemasak.
"Iya, Mbak Fu pengen nikah," kata Dek Tika disambut gelak tawa kami semua. Aku adalah penghuni kos tertua dan mereka memperlakukanku sebagai apa yang disebut kakak.
Kedekatan kami memang bukan karena seringnya intensitas jalan-jalan, namun kami hanya bertegur sapa, masak kemudian makan bersama, dan menanyakan kabar keluarga. Tidak hanya itu, kami sudah seperti keluarga, saling berkunjung ke rumah. Dan juga menceritakan kepada keluarga tentang kami satu sama lain.
"Ada salam dari orang tuaku," kataku menyampaikan salam dari Emak setelah beliau menelfonku.
Seperti yang aku ceritakan tadi, kedekatan kami bukan karena kami sering jalan-jalan bersama. Bukan. Sampai detik ini, semasa dua tahun kami hidup dalam satu atap kos, kami belum pernah jalan-jalan keluar kota bersama-sama.
Kami perempuan yang notabene biasa jarak jauh pulang pergi kampung-kampus mengendarai motor, sering merencanakan jalan-jalan bersama. Salah satunya ke Sikunir, Dieng, Banjarnegara dan juga suatu kali merencanakan keliling pantai pasir putih di Bantul, Yogjakarta. Tapi hasilnya? Nihil.
"Liburan semester kita ke Dieng yuk? Nanti menginap di tempat saudaraku di sana," ungkapku bersemangat satu semester yang lalu.
"Bantul asyiknya setelah wisuda. Kita touring naik motor, ntar nginep pake dump di pantai pasir putih. Seneng kayaknya, para Srikandi jalan-jalan...," ungkap Tutik tak kalah bersemangat di sela-sela makan malam lauk tempe penyet di depan TV kos dua bulan lalu. Benar saja, manusia hanya bisa merencanakan, Allah Swt yang menentukan. Rencana tidak sampai dilaksanakan.
Adzan maghrib terdengar jelas dari mushola dekat kos. Hari ini senja perdana tanpa mereka di sini. Kamar sebelah sepi, tak berpenghuni. Aku melihat ruang kosong depan lemari. Di situlah kami melaksanakan shalat berjama`ah dan tadarus (terutama Al-Kahfi pada malam Jum`at).
"Kamu yang jadi imam," pintaku sambil tersenyum sewaktu kami mau shalat berjama`ah. Dan buru-buru meletakan sajadah di pinggir, dan menata sajadah punya salah satu dari mereka kadang Dewi, Tutik atau yang lainnya.
"Nggak mau, ini giliran kamu, Mbak," tolak Dewi sembari mencoba memindahkan sajadah ke pinggir. Aku segera mencegahnya dengan menginjak sajadah agar susah diambil.
"Hari ini aku sedang banyak pikiran, nggak konsen. Kamu saja ya?" kataku beralasan.
Shalat berjamaah memang tidak rutin kami lakukan, mengingat karena kami mempunyai kegiatan yang berbeda-beda, menjadikan kami tidak tentu bisa berkumpul di kos bersama setiap hari. Aku dan Dewi sama-sama pegiat jurnalistik, wartawan kampus. Sedangkan saudara kembarku Mae sibuk dengan petualangan dan program cinta buminya di organisasi pecinta alam. Tutik selain menjadi guru bimbingan belajar anak SD dan SMP di Banyumanik, ia juga anggota Korps Suka Rela, semacam organisasi palang merah di Kampus.
Sedangkan Sasya dan Dek Tika, tidak mengikuti kegiatan tambahan, mereka mengikuti kegiatan di kampus seperti mahasiswa kebanyakan. Karena tidak ada kegiatan tambahan, mereka sering pulang tepat waktu. Mereka berdualah yang menjadi selalu merelakan hati menjadi penjaga kos. Rela membukakan pintu tengah malam setelah kami berkegiatan. (Terima kasih Sasya, arigatou Dek Tika. hehe)
Tentang Jojo
Tiba-tiba pintu kamarku sedikit terbuka. Jojo! Tidak biasanya, aku terkejut. Jojo membawaku semakin dalam menuju kenangan. Jojo adalah nama seekor kucing liar yang sering singgah di kos kami. Sejak keberadaan Jojo pertama kali, tidak ada yang merasa membawa kucing bercorak kembang duren itu ke kos. Namun, disinyalir ketika Jojo datang ke kos kemudian kami sering memberi makan Jojo itulah yang membuat Jojo betah singgah ke kos kami.
Kulihat Jojo mengintip dari balik pintu. "Jo, Ibu, Ibu Tiri, dan Budhe kamu sudah tidak di kos lagi, Jo," kalimat ini muncul dalam hati, jika saja Jojo bisa memahami kata-kataku dan mampu berbicara, aku akan mengutakaran dan memberi pengertian pada Jojo agar tidak bersedih ditinggal ibu dan budhenya.
Jojo di depan antara pintu kamar kami |
Dari atas kasur, sambil mengetik, aku masih melihat Jojo di balik pintu. Kini Jojo duduk di depan antara pintu kamar kami dan menjilati bulu-bulunya yang mudah rontok itu. "Sabar ya, Jo?" batinku lagi. "Meong...," terdengar Jojo mengeluarkan suaranya. Yang terdengar seperti mengatakan "Iya...".
Sekali lagi aku merasa kehilangan orang yang mengisi hari-hariku dan ada di dekatku selama ini. Rasanya ada sesuatu ruang kosong yang tercipta, kemudian ruang kosong itu terisi kenangan lama tentang hal yang rasanya baru saja terjadi dan ingin terulang kembali. Begitulah. Kenangan bersama mereka seolah tumpah ruah. Kadang saat keheningan dan dalam situasi kehilangan, kita baru menyadari betapa orang lain berlimpah kebaikan.
Mau bagaimana lagi, melepaskan adalah jalan untuk pertemuan yang lebih membahagiakan. Insyaallah Bukankah mereka sedang menapaki jalan menggapai mimpi. Melepasmu. Sahabat-sahabatku. Aku memang kehilangan secara ragawi, namun bagaimanapun kehilangan yang membahagiakan adalah melepas mereka mencapai impian. Semangat berkarya sahabat! Ja mata ashita. Sampai jumpa besok. (Baru sehari berpisah, namun rasanya ingin sekali segera bertemu)
"Meong,"Jojo kembali mengeong. Terdengar seperti mengiba minta diberi makan. "Meong," Jojo sekali lagi mengeong, kini suara kucing kurus itu terdengar seperti sebuah pertanyaan yang diajukan padaku, "dimana?". Iya, Jojo seolah bertanya di mana tiga perempuan yang biasa memberiku makan?
"Kamu lapar, Jo? Yang biasa ngasih kamu makan udah pergi, Jo," kataku pada Jojo lirih. Jojo berjalan mendekatiku yang sedang duduk di atas kasur, kemudian menyentuhkan kepalanya ke kakiku. "Saatnya kamu mandiri, nggak boleh cengeng dan terlalu tergantung sama orang lagi. Kamu kan kucing, cari tikus, atau cari cicak juga bisa. Ayo berusaha. Kamu bisa. Semangat! Ganbatte!," kataku menambahi menasehati, namun rasanya kalimat itu perlahan menggema balik kepadaku.
Semarang, 28 Februari 2015