kfk.kompas.com |
…Orang bilang tanah kita tanah murka,
tongkat
kayu dan batu
jadi tawuran....
(Koes
Minus)
Hamparan
padi di sawah
tampak
rata menghijau seperti
rumput lapangan
sepak bola di stadion. “Tanaman padi saya di sebelah sana,” ungkap Budi
Supriyono sambil menunjuk
satu petak
yang berada di tengah hamparan sawah.
Budi
adalah
Ketua Kelompok Tani “Werdidadi”
desa
Prebun, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas yang mencoba pertanian organik.
Selain petani, dia juga membuka jasa penggilingan tepung beras. Senyumnya mengembang ketika kami mendatangi tempat ia melakukan pekerjaannya itu yang lokasinya bersebelahan dengan sekeretariat kelompok tani desa setempat.
Tak hanya Budi, 70 persen masyarakat Indonesia juga hidup dari hasil pertanian. Indonesia yang dulu merupakan negara pengekspor beras, kini malah sebaliknya mengimpor beras. Seperti yang diberitakan harian Kompas (21/2), 15.000 ton beras impor membanjiri Bandar Lampung. Beras itu berasal dari India yang dulu merupakan negara Asia yang sama seperti Indonesia sebagai negara berkembang.
Saat kunjungan di Kabupaten Sragen dalam rangka panen raya, SBY menginginkan peningkatan produksi bahan pangan menjadi prioritas bangsa. Untuk mencapainya, pemerintah menekankan pentingnnya kolaborasi semua pihak, baik pemerintah, swasta, peneliti, petani maupun pelaku industri bahan pangan dalam memperkuat ketahanan pangan nasional (Kompas 18/3).
Tekad pemerintah menaikkan produksi beras boleh diapresiasi. Dilihat dari kebijakan benih padi, penggunaan benih padi yang meluas saat ini merupakan kebijakan dari orde lama. Kala itu, presiden Soeharto membuat kebijakan yang terkenal dengan sebutan “Revolusi Hijau”. Ini merupakan salah satu kebijakan yang diharapkan dapat mendongkrak produksi padi pada masa itu.
Menurut hasil survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (BPS 2011), sejumlah 87,57 persen usaha tani padi sawah menggunakan benih hibrida, sedangkan penggunaan benih lokal hanya 12,43 persen.
tribunjateng.com |
Varietas generik yang diterapkan merupakan hasil penelitian dari IRRI Filiphina yang kemudian disebarluaskan di Indonesia untuk ditanam secara massal. Varietas baru ini adalah IR 8, IR 5, C4, IR 20 dan IR 22. Hasilnya mencengangkan memang, produksi padi bisa menghasilkan 6-10 ton per hektar daripada varietas lama yang hanya 2-3 ton per hektar (1970-1984). Dengan hasil tersebut, selama 14 tahun produksi padi bisa dipompa dari 1.8 ton per hektar menjadi 3.03 per hektar. Padahal, Jepang saja untuk meningkatkan produksi padi dari 2 ton menjadi 3.01 ton per hektar memerlukan waktu 68 tahun. (Ironi Negeri Beras 2008: 10)
Produksi memang berhasil digenjot pada masa itu, namun biaya produksi yang diperlukan ternyata mahal. Kalau dulu perhitungan produksi pertanian dilakukan lewat tawar menawar dengan alam, kini semua bergantung pada industry. Ketergantungan kepada perusahaan pembuat pupuk dan penyedia bibit menjadikan ongkos bertani kian mahal. Setiap tahun, petani harus membelanjakan uangnya dalam jumlah besar untuk pembelian bibit unggul, pestisida, fungisida, pupuk buatan yang sebagian besar disuplai oleh negara-negara asing.
Selain
itu, tanah juga harus disewa, tenaga kerja buruh harus dibayar, dan di sejumlah daerah untuk pengairan sawah petani masih
harus mengeluarkan biaya. Demi mendapatkan aliran air bagi sawah tadah
hujannya, Parmin petani di Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, mengeluarkan
biaya 4 juta untuk membuat sumur pantek (Kompas
3/7).
Tidak hanya itu, akibat asupan kimiawi yang terlalu banyak menyebabkan kualitas tanah menurun. Penggunaan pupuk kimiawi terlalu banyak menyebabkan tanaman padi tidak responsif terhadap pemupukan. Jadi, seberapapun pupuk ditambah, produktivitas padi tidak sebanding dengan penambahan pupuk. Varietas yang dianggap unggul menyedot dan menyebabkan bahan organik dalam tanah juga menurun. Varietas ini rakus akan hara sehingga 80 persen dari 7 juta hektar lahan sawah di Indonesia bahan organiknya hanya 1 persen. Akibat peggunaan pupuk kimiawi keanekaragaman hayati menurun, predator hama teman petani mati dan sebaliknya hama wereng tak terkendali dan bahkan bermutasi. (Ironi Negeri Beras, 2008: 15)
Seperti yang dikatakan Ratih Damayanti, pegawai Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Desa Prebun, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, bahwa pupuk kimia atau anorganik memang hasilnya instan, tetapi lama kelamaan dapat merusak lingkungan terutama tanah. bahan kimianya juga berbahaya bagi manusia. Dari segi harga, relatif mahal dan petani juga tidak bisa memproduksi sendiri. “Pupuk kimia juga bersifat seperti candu jadi semakin lama digunakan di lahan, maka kebutuhan pupuk kimia tersebut semakin banyak,” ungkap wanita alumnus Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) melalui surat elektronik karena sedang berlibur di tempat saudaranya di Jakarta saat dihubungi.
Wanita tomboi ini sudah menjadi PPL
sejak
tahun 2009. Dan selama
dua tahun lebih itu pula, ia mengaku lewat surat elektronik bahwa untuk
menerima dan mengaplikasikan pupuk organik pada tanaman padi, masyarakat memang
gampang-gampang susah.
Merubah sistem pertanian yang sudah ada menjadi pertanian
organik membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena kondisi lahan pertanian
sekarang sudah cukup rusak sehingga butuh waktu lama untuk merubahnya
(rekondisi) menjadi lebih baik. Pemikiran petani yang sudah terbiasa dimanja oleh subsidi
pupuk kimia serta
sifat pupuk kimia yang instan membuat petani sulit lepas dari ketergantungan
pupuk kimia.
Ramah Lingkungan - Ramah Kantong Petani
Budi mengaku, selain menggunakan pupuk organik yang ada di pasaran, ia juga membuat pupuk organik sendiri yang terbuat dari ikan dan gula merah yang ia beri air dan difermentasikan. “Saya membuat pupuk cair untuk mengilangkan hama, lebih murah dan gampang membuatnya,” jelas dia.Semua permasalahan yang ada pada jaman presiden Soeharto masih bergaung sampai sekarang. Seharusnya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian tidak dengan cara menaikkan subsidi pupuk, bibit atau pestisida lain. Tetapi, bagaimana keseriusan pemerintah mengkaji masalah pertanian dan memberikan solusi jangka panjang. Pertanian organik bisa menjadi solusi untuk masalah ini, penerapannya bukan hanya rencana-rencana dan mengotak-atik data di atas kertas saja.
Terobosan baru perlu berani dilaksanakan. Melalui pertanian organik petani tidak perlu bergantung pada pupuk kimiawi yang mahal dan malah bisa merusak tanah. Bagaimana mau sejahtera? Menurut BPS (Januari 2012), buruh tani yang bekerja harian bergaji 39.727 rupiah, namun riilnya hanya 28.582 rupiah.
Menurut Ratih, meskipun padi organik masa panen lebih lama, namun biaya produksi lebih murah dan harga jual lebih mahal daripada beras anorganik. Sementara, Budi mengungkapkan bahwa sejak tahun 2008 ia mencoba menanam padi organik di sawahnya. Ia mengaku, sawah yang dicobanya untuk menanam padi organik memang tidak luas, dari 300 petak sawah, hanya 42 petak saja yang ditanami padi secara organik. Menanam padi organik memang menarik bagi Budi, sebab lebih menguntungkan daripada menanam padi anorganik.
Masih kata Budi, “Jika diakumulasikan, biaya produksi pertanian organik lebih rendah dari biaya produksi pertanian anorganik. Misalnya saja, dengan luas lahan yang sama. Pertanian organik memerlukan biaya pupuk organik padat hanya 20 ribu rupiah per 40 kilogram sedangkan pupuk cair 100 ribu rupiah per liter. Sedangkan jika menggunakan pupuk anorganik, dia harus merogoh uang lebih banyak, KCL nonsubsidi 400 ribu rupiah per bungkus, urea 50 ribu rupiah per 95 kilogram, NPK 120 ribu rupiah per bungkus, SP36 100 ribu rupiah per bungkus. Jika dijumlah, biaya pupuk organik lebih murah dari pupuk anorganik yaitu 120 ribu rupiah banding 770 ribu rupiah. Selisih 650 ribu rupiah dari pupuk anorganik”.
“Padi organik memang warna hijaunya terlihat lebih pucat daripada padi anorganik, tetapi kalau mengenai timbangan padi organik lebih berat,” ungkap Budi lagi. Ia menambahkan, satu kuintal padi yang ditanam secara organik bisa menghasilkan 70 kilogram beras, berbeda dengan padi yang ditanam secara anorganik yang berat hasilnya kurang dari itu.
Perlu diketahui bahwa kabarnya pemerintah ke depan akan menghapuskan subsidi pupuk dan bahan pembuat pupuk kimia yang semakin menipis, jadi sangat beralasan jika sebaiknya petani mulai beralih ke model pertanian organik. Semua bergantung keberanian pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menyejahterakan petani atau tidak. Semoga tak lagi ada ibarat ayam yang mati di lumbung padi. Semoga....
oppo |
(Selamat Hati Tani 2014, tulisan ini merupakan hasil liputan yang dimuat pada Majalah Kompas Mahasiswa Unnes www.bp2munnes.org)