Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Friday, December 5, 2014

Ketika Kita Tua Nanti

Sumber foto: Kolesksi Pribadi @marfuahumarsidik


"Apakah kalian akan hidup sampai tua nanti? Jika diberi umur panjang dan menua, bantuan apa yang kalian butuhkan?"

Mata kuliah Dokkai Selasa siang itu dimulai. Mata kuliah menyimak dan memahami ini membahas bacaan bertajuk "atsumaru"yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah "berkumpul". Kami membahas kalimat demi kalimat dari tata bahasa sampai makna yang terkandung di dalam bacaan.

Sudah menjadi kebiasaan, sebelum membahas isi bacaan, Yuyun sensei (dosen-red)  memberikan apersepsi, pengantar kuliah dengan memberikan pertanyaan seputar bacaan yang akan dipelajari. Bacaan berisi tentang ibu rumah tangga yang melihat kehidupan kakek dibantu oleh seorang sukarelawan muda.

"Iya, bayangkan kalian menjadi tua. Apa yang akan kalian lakukan? Bantuan apa yang kalian butuhkan?"

"Mencuci pakaian," celetuk salah satu mahasiswa.

"Bantuan untuk memasak, Sensei (Panggilan bahasa Jepang untuk dosen-red)," kata yang lain.

"Membutuhkan teman ngobrol. Ketika tua nanti, aku butuh teman berbagi untuk menceritakan pengalaman yang telah aku dapatkan sewaktu muda," sahut yang lain lagi.

"Membutuhkan bantuan untuk menyempurnakan agamaku," celetukku dalam hati sambil senyum sendiri.

Tanya jawab dosen dan mahasiswa tadi membawaku pada sebuah lamunan. Aku mendapati diriku dalam tubuh seorang nenek. Aku membayangkan menua bersama suamiku. Rambutku memutih di balik kerudungku, kulitku keriput dan tangan tak lagi kuat mengangkat seember cucian, hanya bisa setiap pagi menyapu sedikit demi sedikit dedaunan yang gugur di halaman.

Masih dalam angan-angan, jika nanti aku diberi amanah untuk membesarkan dan mendidik anak-anak, mereka tumbuh dewasa kemudian berkeluarga. Mereka sering membawa cucuku berkunjung. Tidak hanya sebagai teman berbincang, cucu-cucuku akan membantu nenek dan kakeknya membersihkan rumah.

Aku dan suamiku menjalani hari tua tenang beribadah. Setiap sepertiga malam aku (dalam tubuh nenek tadi) akan rajin shalat tahajjud. Ketika adzan subuh mengetuk kesunyian pagi, aku akan bangun menyegerakan shalat. Mulut basah dengan dzikir, mata setiap ba`da shalat maghrib untuk membaca mentadaburi Alquran dan setiap malam Jum`at membaca surat Alkahfi. 

Tidak hanya itu, telinga tak lagi untuk mendengarkan musik-musik melow dan galau atau musik yang menghentak-hentak. Jika memang masih diberi pendengaran yang baik, telinga ini lebih nikmat untuk mendengarkan murotal Alquran. Uang tak lagi menjadi hal yang harus disimpan rapi-rapi, kalau ada uang, bersedekah menjadi kebiasaan setiap hari.

 "Duhai suami, ukuran ketulusan dan kesejatian cintamu pada istri adalah apa yang kamu berikan padaku membuat kehidupanku menjadi lebih baik," kataku padamu.

Itu yang aku bayangkan keadaan ideal masa senjaku, bersama suami yang mencintaiku dan aku cintai. Suami yang menerima keadaan apa adanya diriku. Keluarga yang bahagia cinta karena Allah. Semoga Allah mengizinkan, insyaallah

Aku membayangkan demikian karena sering melihat mbah-mbah yang kutemui di masjid mana saja tempat aku shalat di tengah-tengah menempuh perjalanan mudik. Damai berdzikir, dan dari pandanganku mereka dengan kerelaan hati melaksanakan perintah Tuhan.

Beberapa kali disetiap kesempatan bertemu dengan mereka, aku akan memberikan salam kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman. Kemudian mereka tersenyum dan membalas salamku.

"Numpak motor sing ati-ati nok...." nasihatnya, kemudian tersenyum menyambut jabat tangan dariku. 

Beliau mengatakan itu barangkali melihatku nampak telah menempuh jarak jauh dengan ransel dan muka yang kusut. Nenek itu tak mengenalku, begitu juga aku tak mengenalnya, namun sapaan itu begitu akrab untukku. Begitulah, orang tua suka memberikan nasihat, meskipun hanya sepenggal nasihat.

"Nggih, Mbah," jawabku membalas senyum.

Begitulah lamunanku jalan-jalan kemana-mana. Namun tidak sampai di situ, mengingat nenek yang ada di masjid tadi, aku jadi berpikir saat ini usiaku 23 tahun, masih muda. Namun, apakah untuk menjalankan perintahNya harus menunggu tua nanti? Untuk apa dan kemana hidup ini?

Jika umurku masih 54 tahun ke depan, maka masih punya waktu memperbaiki diri. Namun, hari berjalan mendekati senja. Hal inilah yang menjadi peringatan dan pelajaran. Kata Ustad Arifin Ilham, hidup adalah kali ini, kemarin adalah yang lalu, dan esok belumlah tentu.

"Kira-kira umur berapa kalian sampai menemui hari tua nanti?" Yuyun sensei mengajukan pertanyaan kedua.

Kelas siang itu sejenak menjadi hening. Hening sekali.

Jumat, 5 Desember 2014

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More