Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Sunday, January 27, 2013

Asap #2

Kursi belakang terisi penuh. Enam orang lelaki duduk berjejer, mengisi kursi paling belakang bus jurusan kota Dawet Ayu-kota Lunpia. Aku duduk di samping jendela kursi deratan tengah. Semua kursi terisi. Kecuali satu kursi di sebelahku ini. Salah satu lelaki yang duduk di kursi seberangku membuang sisa tembakaunya ke lantai.


Kini bus berhenti, aku lihat ke luar jendela. Ah, belum sampai tujuan rupanya. Bus yang sering berhenti membuatku pusing. Aku ambil sisa permen jahe yang aku beli di terminal bus sama Bapak tadi. Pelaku seni jalanan datang silih berganti. Aku tak peduli. Seorang anak kecil kira-kira berusia dua belasan tahun menyodorkan selembar amplop putih kecil. Ada kalimat dengan tinta hitam tertulis di belakangnya.


“Assalamu`alaikum, para dermawan tolong bantu kami”. Tak luput juga nama terang bocah kecil tadi.

Aku makin tak peduli. Aku sakit sekarang. Hanya ibu-ibu yang duduk di kursi seberang

menawarkan roti kepada bocah kecil itu.


“Ndu`, iki tak kei.”


“Enggak mau Bu.”


“Argh, dia butuh uang Bu, bukan jajan,” batinku lagi seraya kesakitan.


Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak menyusuri lorong bus berebut menawarkan barang dagangannya.


“Yang minum, yang minum.”


“Arem-Arem Mbak?”


Aku menolak. Kini seorang perempuan menduduki kursi kosong di sebelahku. Bau minyak wangi perempuan muda dengan pakaian serba mini dan berlipstik merah tebal membuatku bertambah mual. Sungguh, aku tak terbiasa memakai parfum. Alergi.


Ah kiranya bus ini merupakan miniature kehidupan. Sesak. Tujuh milyar manusia mencari sesuap nasi, harapan yang berdesakan dan saling bertolak kepentingan.


“Ungaran-Ungaran,” kondektur memberi isyarat.


Hujan menyambut. Gersang yang kurasa lepas bersama hujan yang mengguyurku. Bus berjalan menjauh dari hadapanku. Sudah ada angkot di seberang sana, aku akan meneruskan perjalananku lagi. Langkahku cepat menghampiri.


“Ke Universitas Negeri Semarang Mbak?” tanya Pak Supir. Aku mengangguk.


Angkot berjalan pelan, asapnya mengepul. Aku mulai mual lagi. Angkot ini lebih sesak dari bus tadi.


“Nak, sesaknya perjalanan kehidupan akan terasa lapang dengan bersyukur,” kata-kata Ibu terngiang jelas.



Ditulis untuk Buletin Sastra "Keloepas" 2012

Siluet Wulan

Ketika subuh berkumandang tadi, Wulan bergegas bangun tidur kemudian mandi dan shalat subuh di kamarnya. Ia berlari dengan penuh semangat ditopang oleh sisa energi tadi malam untuk segera menghampiri meja makan di dapur.

Raut wajahnya kecut sepertinya lebih kecut dari raut wajahnya kemarin dengan dihadapkan kondisi yang sama. Hanya saja, kini bertambah kecutnya raut wajah itu karena ternyata apa yang ia sampaikan pada Bundanya dari pagi-pagi yang lalu tidak pernah ada tanggapan berupa tindakan. Seperti pagi ini.

"Bun, masakan Bunda mana?" celetuk Wulan polos sembari membuka tudung saji di atas meja makan. Mata sipitnya berusaha menilik dan memastikan kira-kira apa yang ada di atas meja makan. Meski faktanya nihil. Ia kenal benar dengan nasi goreng buatan Mbok Inah, menu sarapannya setiap pagi.

"Sarapan? Maaf Wulan, kamu kan tahu Bunda sibuk. Bunda enggak sempat membuat sarapan. Ayo cepat pakai sepatumu Bunda sudah siap berangkat, nanti Bunda bisa telat ke kantor kalau kamu lelet begitu," gertak sang Bunda sembari mengambil air putih dari dalam kulkas. Minum.

"Bun, Wulan pengen masakan Bunda," rengek anak kelas tiga SD ini kepada Bundanya. Linda, begitu orang-orang kantor memanggil Bunda Wulan. Wanita dengan kulit putih, paras ayu dengan bibirnya yang tipis, hidungnya mancung, matanya sedikit sipit bawaan dari Ayahnya yang seorang Tionghoa. Rambutnya hitam seperti Ibunya orang Jawa. Wanita lulusan Managemen dari universitas kenamaan di Jakarta ini merupakan salah satu pengelola sebuah perusahaan produk kecantikan di Jakarta. Order yang cukup banyak dari dalam dan luar negeri membuat perhatian Linda pada Wulan tercuri oleh kesibukannya. Sama dengan Ayah Wulan, Tanto. Ia seorang pengusaha dan pejabat pemerintahan di Senayan, yang sibuk dinas ke sana kemari keluar kota bahkan ke luar negeri. juga tak bisa menikmati indahnya hidup melihat hari demi hari tumbuh kembang Wulan.

Linda dan Tanto kenal sejak pertemuan pertama mereka di Paris, Perancis. Waktu itu, Linda mendapatkan kesempatan untuk mempromosikan produk kecantikan asal Indonesia di ajang pameran produk kecantikan Internasional. Tanpa sengaja, Tanto yang pada saat itu juga menghadiri pameran tersebut dalam rangka dinas, bertemu Linda di sana. Merekapun saling kenal dan beberapa tahun setelah itu mereka memutuskan untuk menikah. Usia Linda memang tergolong usia yang telat melakukan pernikahan.
Diumurnya yang ke 30 tahun, Linda baru menikah, itupun setelah Linda sadar bahwa umurnya sudah tidak muda lagi untuk mempunyai anak. Tanto yang seorang duda beranak satu akhirnya menikahi Linda.

Anak Tanto dari pernikahan pertamanya tinggal bersama mantan istrinya. Sedangkan sekarang, di Usia Linda 41 tahun, itupun setelah Linda sadar bahwa umurnya sudah tidak muda lagi untuk mempunyai anak. Tanto yang seorang duda beranak satu akhirnya menikahi Linda. Anak Tanto dari pernikahan pertamanya tinggal bersama mantan istrinya. Sedangkan sekarang, di Usia Linda 42 tahun dan Tanto 45 tahun, mereka mempunyai anak berusia 11 tahun. Wulan.

Wulan tipe anak kalem dan cerdas. Ia seorang juara kelas. Bahkan sebenarnya prestasinya segudang. Hanya saja Linda dan Tanto tidak menyadarinya. Setiap kali Wulan mengajak orang tuanya itu melihat Wulan lomba, hanya ada satu alasan mereka sibuk. Pernah suatu saat, Wulan mengikuti lomba menulis dan baca puisi saat acara ulang tahun sekolahnya. Namun, Linda dan Tanto tak bisa hadir. “Bunda, Ayah besok Wulan mau ikut lomba baca puisi di sekolah. Bunda sama Ayah datang ya?” bujuk Wulan saat berkesempatan bersama orang tuanya berkumpul di rumah. Linda dan Tanto yang sedang duduk di sofa depan TV hanya saling berpandangan.

“Maaf Wulan, besok Bunda ada meeting dengan klien,” jawab Linda mendahului.

“Ayah juga tidak bisa. Ayah ada rapat besok,” ungkap Tanto beralasan.

“Biar besok Mbok Inah dengan Wawan yang nganter dan lihat kamu lomba ya?”

Setelah hari itu, Wulan tak pernah mengajak atau memberitahukan Linda dan Tanto jika ia ikut lomba atau mendapat juara. Ia hanya memngumpulkan piala-pialanya di kamar. Linda dan Tanto tak tahu jika di kamar Wulan tersimpan belasan piala. Mereka jarang mengunjungi kamar Wulan. Atau hanya sekadar melihat dan membantu Wulan mengerjakan PR. Malah, kadang Mbok Inah yang sedikit bisa baca tulis itu, memberikan motivasi dengan menemani Wulan belajar dan membuatkan susu coklat kesukaan Wulan.
***

Seperti pagi-pagi sebelumnya. Rumah begitu sepi. Pagi ini Wulan diantar Wawan pergi
ke sekolah. Biasanya dia bersama Bunda. Tapi Bundanya belum kembali dari Jepang. Ayah Wulan, sudah berangkat duluan menghindari macet Jakarta yang menjadi tradisi setiap pagi. Kini hanya Wulan, Mbok Inah dan Wawan yang berada di rumah berlantai dua dengan perabotan mewah di dalamnya ini.

Sering juga Wulan mengajak teman sekolahnya bermain di rumah, tapi rasanya tetap berbeda. Tidak cukup kegembiraan bersama teman-teman. Wulan butuh kehangatan kasih sayang keluarga. Sebuah kata sayang dari Bunda dan Ayahnya, sebuah pelukan hangat mereka. Sebuah kecupan saying dikening Wulan sebelum berangkat sekolah atau sebelum tidur. Bunda dan Ayah yang menemani Wulan belajar. Memberi dorongan ketika mengikuti lomba. Memberi selamat ketika dapat juara. Memberi motivasi ketika kalah. Ah, terlalu banyak memang. Tapi sebenarnya Wulan hanya ingin satu hal menurutnya paling penting bagi Wulan.Wulan ingin sarapan bareng Bunda dan Ayah setiap pagi.

Hati Wulan terselip rasa iri setiap kali teman-teman sekelasnya bercerita menganai keluarganya. Keadaan keluaraga yang hangat dan penuh perhatian. “Eh teman-teman aku punya salad buah buatan mamaku. Nanti kalau kalian mau kita Makan bareng-bareng ya?” ungkap Arum salah satu teman Wulan. Aru memang punya Bunda yang perhatian dan pintar memasak. Setiap kali berangkat sekolah, Arum dibawakan bekal special buatan Bundanya.

“Eh nanti aku mau pergi bareng sama Bunda dan Ayah ke toko buku. Mau nyari buku bergambar biar bisa latihan ngegambar buat lomba menggambar minggu depan. Buku gambarku udah abis sih,” tutur Sonya salah satu teman Wulan juga. Menurut Wulan, Sonya juga beruntung mempunyai orang tua yang perhatian. Kemana-mana jika Sonya butuh bantuan orang tuanya selalu ada.

Wulan hanya bisa bengong ketika teman-temannya menceritakan keluarga mereka. Liburan bareng, nonton program TV kesukaan di rumah. Namun, kadang Wulan menceritakan sedikit kehidupannya bersama keluarga di rumah. Ya, bersama Mbok Inah, yang sudah dianggap Wulan seperti neneknya sendiri. Ia menceritakan senangnya ketika Mbok Inah memberi hadiah kejutan saat ia ulang tahun. Mbok Inah membuatkannya nasi tumpeng yang dihias sedemikian rupa. Lucunnya ada lilin di ats tumpeng sebagai hiasan. Wulan kaget, senang dan juga menahan tawa. Ketika lilin dinyalakan, seperti gunung berapi sedang menyemburkan api.
***

Wulan duduk di depan meja belajarnya. Ada foto masa kecil ketika Wulan berumur dua tahun sedang digendong Bunda dan ada Ayahnya di sampingnya. Nampak senyum mereka mengembang. Ini adalah foto kenangan bersama Bunda dan Ayah yang Wulan punya. Tak ada yang lain. Memang, Wulan jarang berfoto bersama keluarganya. Jika liburan saja, kadang Ayah tidak bisa ikut atau bahkan Wulan hanya berlibur dengan Mbok Inah dan Wawan, penjaga rumah Wulan yang kadang juga mengantar jemput Wulan jika butuh bantuan.

Wulan mengambil pigura tadi. Ia sangat rindu masa-masa bersama Bunda dan Ayahnya. Bulan malam itu, nampak terang dari jendela kamar dekat meja belajar Wulan. Seolah menemani Wulan yang sedang kesepian. Wulan sudah menyampaikannya secara langsung apa yang ia inginkan, namun hasilnya? tetap saja nihil.Sebenarnya keinginan Wulan sederhana. Keinginan hadirnya Bunda dan Ayahnya di rumah yang bisa membantunya dalam kesulitan dan memperhatikannya setiap saat.

Tok… Tok… Tok…

Terdengar suara pintu diketok sari luar kamar. Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Mbok Inah datang membawakan susu coklat kesukaannya.

“Den Ayu, ini susunya diminum,” perintah Mbok Inah sambil meletakkan segelas susu di atas meja belajar Wulan.

“Makasih ya Mbok. Oiya Mbok, Bunda, kapan pulang?” Linda memang sedang tidak dirumah. Ia sedang ke luar negeri mempromosikan produk kecantikannya di Jepang. Sedangkan Ayahnya masih belum pulang.

“Den Ayu,” begitu Mbok Inah memanggil anak manis, bermata sipit dan berambut lurus ini. “Den Ayu, tadi Bunda telfon, katanya belum bisa pulang hari ini. Tapi tadi Bunda pesan sama Mbok. Suruh nyampein ke Den Ayu, kalau Den Ayu pengen oleh-oleh apa? Nanti Bunda mau belikan katanya,” jelas Mbok Inah.

“Enggak pengen apa-apa Mbok,” suara Wulan sedikit parau. Dada Wulan terasa sesak, bulir air mata menetes dari mata sipit Wulan.

“Mbok, Bunda sama Ayah Wulan enggak sayang ya sama Wulan? Kenapa mereka enggak selalu ada buat Wulan?” Wulan terisak, dilapnya air mata Wulan oleh Mbok Inah dengan tangan.

“Cep… Cep… Cep…. Udah Den Ayu jangan nangis ya?” bujuk Mbok Inah. Matanya juga ikut berkaca-kaca.

“Orang tua teman-teman Wulan baik hati sama mereka. Tapi kenapa Bunda dan Ayah Wulan enggak baik hati sama Wulan? Wulan pengen makan masakan Bunda, Wulan pengen Bunda dan Ayah nemenin Wulan ngerjain PR. Wulan pengen kayak temen-temen Wulan,” tangis Wulan menjadi-jadi.

“Den Ayu, biar hatinya tenang. Shalat Isya dulu ya? Setelah itu tidur. Udah jangan nangis, bentar lagi Ayah juga pulang. Besok Bunda juga,” nasehat Mbok Inah. Meskipun Bunda dan Ayah Wulan tak pernah mengajarkan cara beribadah sebagai Muslim. Selain diajarkan oleh Mbok Inah yang merawat Wulan dari Bayi sampai saat ini. Wulan belajar agama Islam dari sekolahnya yang notabene berbasis Islam. Sedikit demi sedikit Wulan tahu cara beribadah dan belajar mengenai akhlak yang baik.
Wulan mengangguk, ia segera mengelap air mata di pipinya. Mbok Inah mengantar Wulan mengambil air wudlu. Wulan mengerjakan shalat dengan linangan air mata.

"Bunda itu nyari uang buat kamu Wulan, Ibu juga lebih capek. Jadi enggak usah tuntut ini itu pada Bunda lagi," kata-kata Bunda masih terngiang di telinga Wulan.
Bruk!

Suara jeritan dan tangisan terdengar hebat. Mbok Inah menjerit, melihat Wulan terkapar tak berdaya di atas sajadahnya. Segera Wulan dibawa ke rumah sakit. Tapi tak tertolong. Wulan terkena kangker lambung.

Sejak kepergian Wulan rumah bertambah sepi. Bulan masih merona terlihat dari jendela kamar Wulan yang gelap. Cahayanya menembus jendela, membentuk siluet menyinari pigura foto Wulan kecil bersama Bunda dan Ayahnya. Seseorang memasuki kamar Wulan.

"Bun, kapan Wulan bisa makan masakan Bunda? Bunda, Ayah, rumah ini terlalu luas untuk aku jadikan tempat belajar dan bermain sendiri," kata-kata Wulan terngiang kembali. Kata-kata yang selama ini diabaikannnya. Permintaan yang tak lebih penting dari uang yang didapatnya. Linda terisak memeluk dan menciumi foto dalam pigura.

”Maafkan Bunda…,” sesal Linda lirih.


Sumber foto: dok. pribadi

Dikirim dalam Sayembara Cerpen Majalah Femina 2012

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More