Setiap Anak adalah Juara

...Guru seperti teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir....

Hujan dalam Ingatan

...Seperti pertanyaan yang aku titipkan pada hujan sore itu. Apakah kau merindukanku?....

Tiga Bungkus Nasi Kucing untuk Berbuka

...Kebahagiaan berada di dalam hati orang yang mengingatNya....

Kisah Kertas Kebahagiaan

...Let me find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart....

Siapa yang Berdiri di Depan Pintu?

...dan kau tahu makna cinta, masuklah....

Gusti Allah Ora Sare

...Hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan....

Monday, September 14, 2015

Empat Puluh Menit di Kelas "Ternakal"

pendidikberpena.wordpress.com
Bobbi De Porter dalam bukunya Quantum Teaching, menyampaikan kepada semua guru bahwa pada saat mulai masuk kelas dan mengajar, mereka harus menganggap semua siswanya cerdas dan punya kemampuan tinggi. Anggapan itu divisualisasikan seperti ada bintang dengan angka 10 (sepuluh) di dahi setiap anak. Ini penting, sebab guru harus yakin bahwa setiap siswa punya niat yang baik untuk belajar.

Ada sebuah kisah dari Munif Chatib seorang Konsultan Pendidikan dan Penulis Buku Best Seller “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia” saat diundang menjadi pelatih mengajar Multiple Intelligences di sebuah sekolah. Sempat dua tahun lalu  ketika aku meliput kegiatan untuk majalah kampus di Sekolah Qairiyyah Thayyibah di Salatiga (salah satu sekolah yang menarik bagiku). Pertemuanku dengan pendidik inspiratif lulusan Fakultas Hukum itu menyadarkanku bahwa setiap anak adalah juara. Iya, setiap anak ada angka 10 (sepuluh) di atas kepala.  Berikut kisah dalam buku Gurunya Manusia karya Munif Chatib tersebut:

Tepat pukul 08.00, saya sudah berada di sekolah. Setibanya di sekolah, saya ditemani kepala sekolah dan terus mendapatkan informasi mengerikan tentang kondisi siswa di kelas tersebut. Saya cuma bisa menelan ludah, membayangkan harus mengajar dengan tema menghormati guru di kelas yang semua siswanya paling tidak mau menghormati guru.

Setelah menaiki tangga lantai dua, akhirnya saya tepat berdiri di depan pintu kelas “panas” tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, saya masuk kelas sembari membuang semua gambaran negatif tentang siswa di kelas itu. Saya membayangkan: semua siswanya baik dan dapat diajak kerja sama; tidak ada siswa yang nakal dan kurang ajar, serta semua siswa tersebut pasti akan mau menjadi sahabat saya; mereka dengan rela mau mengikuti pelajaran, sehingga target materi tuntas. Saya melakukan positive thinking di depan kelas tersebut.

Dan benar, di depan kelas, saya menatap wajah mereka satu per satu. Luar biasa, saya melihat wajah-wajah siswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Wajah-wajah yang haus sentuhan pengajaran manusiawi. Saya memperkenalkan diri dan meminta semua siswa juga memperkenalkan diri masing-masing.
www.kemendikbud.go.id
“Saya ingin, kalian tidak hanya sekadar menyebutkan nama, tapi juga teriakan satu kata profesi yang kalian inginkan kelak. Ayo teriakan sebuah profesi, meskipun itu hanya ada di alam mimpi, jangan malu!” ajak saya dengan antusias.

Lalu, satu per satu mereka berdiri, menyebutkan nama dan profesi.

“Saya Nasyirudin, ingin jadi pembalap motor cross.”

Wow, alhamdulilah! Saat itu, saya merasa di menit-menit awal sudah berhasil mengambil hati,anak-anak “unik” ini. Akhirnya tidak ada satu pun siswa yang diam.Satu hal yang penting, anak-anak yang dikatakan “nakal” ini ternyata punya mimpi dan punya harapan, berarti mereka punya motivasi untuk belajar.

Lalu, saya melakukan pre-teach, dengan mengatakan: “Adik-adik, tiga puluh menit ke depan, kita akan berdiskusi. Untuk itu, saya membutuhkan seorang notulis dan moderator. Kalian akan dibagi menjadi empat kelompok, terserah terbagi atas dasar apa, pokoknya ada unsur persamaannya. Saya sendiri sebagai moderator, sedangkan untuk notulis, saya minta salah satu dari kalian.”

Langsung Nasrudin angkat tangan, dia siap menjadi notulis. Saya meminta seisi kelas memberi tepuk tangan kepada Nasyirudin.

Seketika kelas menjadi ribut dan, suhanallah tepat sepuluh detik mereka sudah terbagi menjadi empat kelompok dengan empat nama yang mereka buat sendiri.


http://bismacenter.ning.com/
Selanjutnya saya menyuruh mereka membuka halamn kosong di buku tulis masing-masing. Lalu, saya meminta mereka menuliskan satu nama guru mereka, yang selama ini dianggap negatif: guru tersebut tidak menyenangkan, sering menyakiti hati, atau hal lain, pokoknya negatif. 

“Tulis satu nama guru kalian tepat di tengah kertas. Lalu, di sampingnya beri tanda tanya besar, kemudian tutup buku kalian. Nanti, di akhir pelajaran, kita akan buka kembali,” kata saya.

Mereka berpikir sejenak. Ada yang tersenyum, saling menoleh kepada temannya. Ada yang geleng-geleng kepala. Saya merasakan ada penghalang dan saya tahu itu. Mereka tidak enak kepada guru mereka yang sedang duduk di belakang kelas.

“Adik-adik, jika guru tersebut ada di belakang kita, tidak apa-apa. Tulis saja, lalu tutup. Tidak pernah ada yang tahu.”

Rupanya, kata-kata saya menjadi penenang bagi para siswa. Tak lama kemudian mereka menuliskan nama guru di kertas masing-masing. Saya mulai berdiskusi dengan melemparkan sebuah masalah. Apa penyebab kebanyakan siswa yang tidak suka kepada guru sehingga mereka tidak menghormati guru? Luar biasa, tidak sampai lima menit setiap kelompok mendapatkan jawabannya.

“Yang membuat guru tidak menyenangkan adalah sering memerintahkan untuk mencatat terus sampai tangan saya capai.”

“Sering marah tanpa sebab!”

“Tidak boleh ke toilet.”

“Cerewet.”

“Sering memberi tugas berat!”

“Kalau siswa berkelahi, malah diadukan.”

Kelas tersebut menjadi ajang curahan hati para siswa. Untuk mencarikan suasana yang tegang, saya menyuruh siswa bertepuk tangan. Kemudian saya menantang mereka dengan masalah kedua.

 “Coba diskusikan lagi, apa yag kalian usulkan kepada guru agar masalah pertama tidak muncul?”

“Mestinya kami lebih banyak diperhatikan guru.”

“Mestinya kami sering diajak bicara oleh guru.”

“Mestinya guru lebih percaya pada kami. Tanpa mencatat berlembar-lembar kami mau belajar.”

Dan klimaksnya, terlontar pertanyaan: “Mestinya kami disamakan dengan anak yang lain. Tidak dicap nakal.”

Saya langsung meminta mereka serius dalam menjawab pertanyaan pamungkas:: ”Jika keinginan kalian dipenuhi, apakah di kelas ini akan terjadi keadaan yang harmonis? Kalian mau dengan rela dan ikhlas memandang guru kalian seperti orangtua kalian yang layak dihormati?”

Serempak mereka menjawab: “Mau!” dan mengangguk.

Saya meminta mereka membuka kembali kertas yang berisi nama guru tidak disukai yang telah ditulis di awal belajar.

“Coba adik-adik bayangkan wajah guru yang namanya kalian tulis. Apakah benar mereka cerewet? Apakah benar mereka galak? Apa benar? Coba jawab dengan hati nurani kalian. Kalian tahu, merekalah yang menyelamatkan dunia dan akhirat kalian. Merekalah yang berusaha agar cita-cita kalian terwujud. Apakah pantas kalian katakan mereka tidak menyenangkan? Ayo, bagi yang merasa masih punya hati, silahkan berdiri,bangkit, temui guru yang kalian tulis namanya tersebut. Ucapkan permohonan maaaf yang benar-benar dari hati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Ayo, berdiri, cari guru kalian!”

Selanjutnya, ada air mata yang mengucur antara guru dan siswa. Alhamdulillah, saya berhasil menutup empat puluh menit mengajar dengan cantik. Siswa memahami pengertian tentang sikap menghormati. Dan bagaimana guru bersikap tulus kepada siswa. Sadar bahwa setiap anak adalah juara. My teacher you are my inspiration!

*Sumber: Kisah Inspiratif dalam Buku “Gurunya Manusia” Karya Munif Chatib berjudul “Empat Puluh Menit di Kelas Ternakal” dengan perubahan

Thursday, September 10, 2015

Guru yang Baik dan Reformasi Sistem Belajar di Kelas

Kompasiana


Tulisan ini aku simpan dalam catatan facebook-ku empat tahun lalu. Tulisan oleh Irma Yulianti ini aku baca kembali dan menurutku masih menarik untuk dipahami lagi. Meskipun belum mendapatkan gelar S.pd, aku percaya kita bisa menjadi guru di mana saja. Ya, meskipun aku masih menjadi guru bagi diriku sendiri, setidaknya tulisan di bawah ini menginspirasi. Untuk kamu calon guru atau memang sudah menjadi guru (pendidik), selamat membaca dan memahami.

                                                                                 ***
“The mediocre teacher tells,The good teacher explains,The superior teacher demonstrates,THE GREAT TEACHER INSPIRES“
- William Arthur Ward –

Semasa sekolah, tentu kita pernah diajarkan tentang semboyan Ki Hajar Dewantara bukan? Mungkin dari sebagian dari kita pun sudah lupa semboyan tersebut atau ada pula yang masih ingat semboyan Ki Hajar Dewantara yaitu Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita. Ketiga semboyan ini, mengambarkan bahwa guru atau pendidik diasosiasikan sebagai orang yang memiliki tugas mulia mengabdi kepada bangsa dalam mencerdaskan masyarakat.

Dalam dunia pendidikan, seorang guru mempunyai peranan penting dalam suatu negara. Di Indonesia sendiri guru dikenal dengan julukan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Begitu pula profesi guru mendapat perhatian lebih yaitu dengan dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang profesi keguruan. ‘Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya. Peraturan yang dibuat pemerintah ini bukan tanpa alasan. Pemerintah dengan kebijakan mengenai guru bertujuan untuk memperbaiki kualitas guru karena selama ini kualitas guru dipandang masih rendah.

‘Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar’. [1]
Dokumentasi PPL SMA N 10 Semarang 2013
Kita semua sepakat bahwa kualitas guru sangat menentukan mutu pendidikan kita. Tanpa guru yang profesional dan berkualitas dalam mengajar sulit untuk mencapai mutu pendidikan yang baik. Guru yang berkualiatas adalah guru yang dalam gaya mengajarnya di kelas dapat diterima dan dipahami oleh para siswa ketika menyampaikan pelajaran. Tentu kondisi pembelajaran di kelas akan efektif dan kondusif bagi para siswa. Hal ini akan memberikan efek secara tidak langsung akan mempengaruhi motivasi dan prestasi belajar para siswa.
Guru yang Baik
Guru merupakan sosok yang memiliki peran penting mencerdaskam anak bangsa. Dengan demikian untuk dapat mencerdaskan anak-anak bangsa, guru harus memiliki kualitas dalam ranah pembelajaran di kelas. Guru yang baik adalah guru yang tidak sekedar profesional dalam mengajar tetapi juga memiliki karakter positif yang patut menjadi teladan bagi siswa-siswanya. Karakteristik the good teachers di antaranya yaitu:

# Is fair and has good discipline
Seyogyanya guru memiliki disiplin dalam segala hal. Sebelum guru menuntut para siswanya untuk disiplin, sang gurulah yang terlebih dahulu memiliki sikap disiplin dalam dirinya.

# Has a good sense of humour/ smile
selalu menebar senyum kepada setiap siswa. Supaya guru dapat disenangi dan disukai oleh para siswanya sehingga akan membuat para siswa senang untuk belajar.

# Is intelligent/knows the subject
Seorang guru harus memiliki kecerdasan intelektual dalam mengajar di kelas. Dengan kecerdasan intelektual guru dalam mengajar, para siswa mendapat sumber pengetahuan dari guru. Dalam hal ini istilahnya biasa kita sebut dengan “ Transfer of Knowledge”. Namun, perlu diketahui pula bahwa kecerdasan intelektual tidak serta merta berdiri tunggal. Artinya harus diimbangi dengan kecerdasan moral.

Jika kecerdasan intelektual tidak diiringi dengan kecerdasan moral maka akan menghasilkan output siswa yang lebih mementingkan aspek kuantitas atau mementingkan keberhasilan ketimbang proses atau kualitasnya.

Segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus plagiarisme (menjiplak karya tulis ilmiah milik orang lain) dan korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.
# Set a good example
Menjadi contoh yang baik bagi para siswanya. Memberikan contoh suri teladan karena bagaimana pun juga guru adalah seorang yang mengemban misi menjadikan para siswanya kelak menjadi generasi muda yang menjunjung tinggi aspek moral dan berkarakter.

# Always helps people having difficulties
Seorang guru harus peka terhadap setiap permasalahan para siswanya di kelas. Kerap kali siswa mengalami hambatan dan kesulitan dalam proses belajar dan hambatan dalam memahami serta menangkap pelajaran. Untuk itu guru harus memiliki kepekaan terhadap siswa yang mengalami hal tersebut dan selalu bersedia membantu mereka yang mengalami kesulitan belajar.

Dokumentasi Penelitian di kelas oleh saudara kembarku di SMA 6 Semarang
# Gives incentives, reward or house points says “well done”
Memberikan insentif berupa penghargaan ataupun sekedar mengatakan “kamu melakukan tugas dengan baik” kepada siswanya. Hal ini akan membuat siswa merasa bersemangat dan termotivasi untuk belajar dan berprestasi di kelas.

# Is kind/patient
Sebagai seorang pendidik hendaknya memiliki sikap ramah terhadap setiap siswa dalam proses belajar mengajar di kelas. Agar tercipta suasana belajar para siswa menjadi santai dan menyenangkan serta tidak tertekan selama belajar di kelas.

# Understands/respects everyone as an individual
Selalu mengerti, memahami, dan dan selalu peduli terhadap perkembangan belajar setiap siswa. Memberikan dorongan kepada semua siswa untuk terus belajar dan berprestasi.

# Doesn.t give up/ believes in everyone
Guru juga harus memberikan suatu dukungan kepada setiap siswa ketika menghadapi suatu hambatan dalam belajar dan selalu percaya kepada setiap siswa bahwa mereka adalah murid-murid yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan maju.

Menata Reformasi Sistem Pembelajaran di Kelas

merdeka.com
Guru yang baik dengan karakteristik yang sudah dijelaskan di atas tidaklah cukup dengan berdiri tunggal untuk dapat menciptakan suasana iklim belajar yang kondusif dan menyenangkan bagi para siswa. Namun, sebaiknya dipadukan dengan suatu upaya mereformasi sistem pembelajaran di kelas. Tujuannya untuk mengubah gaya pembelajaran di kelas yang dianggap kurang menarik para siswa seperti gaya mengajar guru yang monoton dan hanya ceramah sehingga membuat siswa cepat bosan dan tidak bersemangat untuk belajar di kelas.

Menurut penulis, yang dapat menentukan keberhasilan guru dalam meningkatkan belajar dan prestasi siswa di kelas yaitu, kualitas pola pembelajaran guru. Kualitas yang bersinergi dengan ruang kebebasan bagi para peserta didik untuk melakukan kreativitas dan menciptakan inovasi-inovasi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Disini guru tidak lagi pilih kasih terhadap anak-anak yang pintar dan anak yang kurang pintar. Betapa ironisnya jika sang guru di zaman sekarang ini masih saja berbuat pilih kasih dan tidak memberi perhatian secara merata kepada siswa-siswanya. Itu namanya bukan mencerminkan sifat guru sejati. Malah ia telah mendeskreditkan dan mengesampingkan hak asasi siswa untuk mendapatkan pelayanan pengajaran yang adil. Guru yang seperti itu tidak layak disebut sebagai guru, apalagi guru bangsa. Hanya berselimut gelar sebagai pahlawan ‘pencerdasan bangsa’ tetapi tindakan dan hasil pengajarannya berselimut ‘kejahatan semu’ terhadap perkembangan belajar siswa.

Para pendidik atau guru pun tak luput dari sorotan dan keterlibatan dalam ketertindasan pendidikan yang mengekang kebebasan kreativitas dan daya inovatif para siswa. Betapa tidak, kebanyakan gaya mengajar para pendidik di Indonesia khususnya sekolah formal tanpa disadari telah melahirkan budaya”silent” bagi para siswa. Mengapa dapat dikatakan seperti itu? Karena para pendidik menerapkan gaya mengajar klasikal, monoton, membosankan, dan berpusat pada guru. Memandang gurulah yang paling tahu dan pintar dalam pembelajaran. Tidak hanya itu culture domination pun kerap kali mewarnai proses kegiatan belajar mengajar di kelas oleh para pendidik. Para pendidik tersebut dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai guru yaitu mendidik para siswanya. Setiap siswa memang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda serta gaya belajarnya yang berbeda-beda pada masing-masing anak. Untuk itulah disini sang guru harus dituntut mempunyai keahlian dalam mengahadapi para murid. Yaitu keahlian untuk dapat mereformasi sistem pembelajaran di kelas ke arah yang lebih baik.

Sudah saatnyalah kini guru-guru Indonesia untuk terus berpacu memperbaiki mutu kualitas SDM dalam mengajar dan menata sistem pembelajarannya di kelas. Melaksanakan dan menanamkan semboyan yang telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu pertama, ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Dari depan seorang guru harus memberikan suri teladan dan contoh yang baik kepada peserta didiknya melalui perilaku dan tindakannya selama kegiatan belajar mengajar di kelas.

Kedua, Ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide). Disini guru harus dapat menciptakan inovasi-inovasi dan ide baru dalam mengajar sehingga dengan inovasi tersebut dapat memacu dan meningkatkan mutu dan prestasi siswa.

Ketiga, Tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). Guru dituntut harus dapat memberikan dorongan apabila ada siswa yang memerlukannya. Guru harus memiliki kepekaan terhadap siswanya yang mengalami masalah dalam pembelajarannya. Kemudian selain mendorong meningkatkan motivasi belajar siswa guru juga diharapkan dapat memberikan arahan. Mengarahkan siswa-siswanya tanpa pilih kasih dalam kegiatan belajar mengajar sehingga terjadi harmonisasi di antara semua peserta didik. Tidak ada yang merasa terdiskriminasi, tidak ada yang lebih dominan, dan tidak ada yang direndahkan ataupun merasa ditinggikan. Dengan arahan yang bijak, semua siswa akan merasa mendapatkan porsi pelayanan pengajaran yang adil dan merata sesuai dengan kapasitas dan kemampuan mereka.

[1] http://www.psb psma.org/content/blog/sertifikasi-guru

Dinukil dari http://komunitaspendidikan.com/index.php/opini/the-good-teachers-dan-reformasi-sistem-pembelajaran-di-kelas/375

Sunday, September 6, 2015

Tertawa Bersama Siswa

Tim Jurnalistik SMP Islam Hidayatullah Semarang, Dokumen Pribadi

Dulu, tepatnya tiga tahun lalu, pada semester tujuh, ketika teman-temanku di kampus sedang sibuk Praktek Pengalaman Lapangan (PPL)Universitas Negeri Semarang (Unnes) jadi guru di sekolah, aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk kuliah dan di organisasi. Kala itu, aku benar-benar merasa belum yakin bisa menjadi seorang guru (seorang yang tidak hanya sebatas memberikan ilmu, tapi juga sebagai pembimbing siswa). Tidak hanya itu, aku sadar penyerapanku akan materi ajar juga belum mumpuni.

Namun, sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan, tepatnya Pendidikan Bahasa Jepang, mau tidak mau, belajar menjadi guru Mata Pelajaran Bahasa Jepang di sekolah aku jalani di tahun berikutnya. Dan nyatanya memang benar, ada tiga hal yang perlu dikuasai pendidik yaitu menguasai materi, pedagogik, dan juga sosial.

Dua kemampuan terakhir aku bisa menyesuaikan karena selain belajar di kelas, aku juga belajar bagai mana menghadapi orang dan mengelola kelas di tempat aku berorganisasi. Seperti yang aku katakan di awal, kekuranganku adalah aku belum menguasai materi ajar. Berbeda ketika aku menjadi guru Ekstra Kurikuler Jurnalistik di SMP Islam Hidayatullah selama tiga tahun, ketika itu aku paham materi (karena aku belajar Jurnalistik di organisasi Pers Mahasiswa). Namun, untuk PPL jadi guru Bahasa Jepang, aku perlu banyak belajar tentang Bahasa Jepang dasar (basic Japannese), karena aku tidak serius belajar ketika diajarkan sensei dulu (ini menjadi salah satu penyesalanku saat ini). Waktu yang ditunggu dengan cemas namun bercampur rasa senang datang juga. Meskipun dengan materi yang pas-pasan, aku pun menjalani PPL dengan senang hati (senang bertemu orang baru).

Akhirnya, aku ingat-ingat, aku coba melihat kembali kenangan menjadi guru PPL di SMA N 10 Semarang 2013 lalu. Aku yakin betul, tidak banyak materi yang aku ajarkan (mereka punya bahan belajar sendiri), tapi aku lebih banyak berlawak ria sambil berdiri di kelas alias ber-stand up comedy. Kenapa demikian? Aku pikir, aku lihat siswa sudah diberatkan dengan Pekerjaan Rumah (PR) mata pelajaran lain yang bejibun dan membebani. Belum lagi, tidak sedikit dari siswa yang membawa masalah dari rumah baik masalah keluarga maupun lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.

Bagi kawan-kawan yang berniat menjadi pendidik, aku sarankan tidak perlu malu-malu berbagi cerita lucu, kelas bukan hanya tempat transfer materi, tapi juga tempat terapi dari rasa penat di hati, mari ber-stand up comedy! Ohya, untuk apa memasang muka sangar hanya untuk menakut-nakuti siswa agar mudah diatur di kelas. Itu tidak perlu. Siswa bukan musuh yang menguji mental kawan-kawanku para calon guru atau guru (pendidik). Pasang muka bersahabat, bukan pasang muka yang dianggap siswa sebagai orang jahat.

Di bawah ini adalah tulisan tiga tahun lalu yang aku ambil dari komunitaspendidikan.com. Aku suka tulisan mengenai pendidikan, salah satunya sebagai cara mempersiapkan diri untuk PPL di tahun berikutnya ketika teman-teman seangkatanku PPL lebih dulu (karena aku telat PPL). Ini dia Jusuf AN salah satu kontributor pada laman yang aku sebutkan tadi. Judul tulisan itu aku buat menjadi judul tulisan dalam celotehku di blog ini "Tertawa Bersama Siswa". Iya, mari tertawa bersama siswa. Selamat mendidik generasi Indonesia para pendidik muda!

                                                                                      ***

"Saya harap nanti kalian tidak bosan dengan casing saya ini….”

Kalimat itu saya katakan ketika perkenalan dengan siswa baru. Mendengar itu, kontan mereka tertawa ngakak. Dan saya senang dan bersyukur bisa mendengar tawa mereka dan memandang wajah-wajah yang memancarkan kebahagiaan.

Di sela-sela memberikan materi pelajaran, kerap pula saya memancing agar siswa bisa gerrr. Ketika wajah-wajah mereka mulai terlihat tegang. Ketika mata-mata mereka mulai sayu dan mengantuk. Ketika konsentrasi mereka mulai pudar dan kegaduhan di kelas tidak bisa lagi dikendalikan. Pada saat-saat seperti itulah, penting bagi untuk memunculkan sense of humor-nya. Seperti komputer, otak dan pikiran mereka sekali-kali mesti di-refresh biar segar kembali.

Humor memang tidak bisa diremehkan. Minat dan perhatian para ilmuwan terhadap humor telah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak mengherankan karena humor adalah salah satu kualitas khas manusia. Bahkan, Nabi Muhammad juga dikenal humoris. Nabi kerap melontarkan humor-humor segar dalam berbagai kesempatan. Humor yang telah akrab dengan kita adalah ungkapan Nabi kepada seorang nenek bahwa di surga tidak ada wanita tua. Nenek tersebut sedih mendengar keterangan Nabi, dan kemudian Nabi mengungkapkan bahwa semua penghuni surga akan di-muda-kan, termasuk si Nenek.

Dalam tradisi Indonesia sendiri kita mengenal tokoh pewayangan Punokawan. Sementara dalam tradisi Sufi kita mengenal kisah-kisah Nasrudin Khoja dan Abu Nawwas. Kiai dan Ustadz juga sering menyisipi humor dalam ceramah-ceramahnya.

Kaitannya dalam dunia pendidikan, humor bisa dijadikan salah satu cara interaksi dan komunikasi yang menyenangkan antara guru dengan siswa. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan sisipan humor ternyata bisa memberikan dampak baik bagi peningkatan kualitas pembelajaran. Humor yang identik dengan senyum dan tertawa dipercaya bisa membuat orang lebih merasa nyaman, menghilangkan rasa tertekan, bosan, dan membuat otot-otot wajah menjadi rileks. Selain itu, humor juga bisa meningkatkan daya ingat dan mempermudah pemahaman dalam bidang-bidang tertentu. Humor juga telah terbukti bisa meningkatkan daya afirmasi peserta didik dalam pembelajaran.

Namun demikian, di Indonesia humor dalam pembelajaran masih sering dianggap asing, bahkan dijauhi oleh para guru. Humor sering dianggap sebagai perusak suasana serius dan bisa mengurangi kewibawaan guru. Anggapan tersebut bisa jadi benar. Tetapi, efek sense of humor guru yang baik untuk meningkatkan kualitas interaksi dan kumunikasi juga tidak bisa dinafikan.

Perlu diingat, interaksi dan komuniasi menyenangkan antara siswa dan guru merupakan faktor utama dalam menerapkan strategi pembelajaran menyenangkan. Jika siswa mendapatkan stimulus yang menyenangkan maka ia akan mencapai hasil belajar terbaiknya.

Tak hanya itu, humor juga dirasa bisa memperkaya hubungan batin guru dengan siswa. Ketika guru mengajar di depan kelas, sebenarnya guru sedang berkomunikasi seara sosial dengan peserta didiknya. Suasana akan kaku dan kering tanpa humor. Kebosanan adalah salah satu penyakit yang sering muncul dan humor mujarab menyembuhkannya.

Maka dari itu, humor tidak patut dijauhi, tetapi bagaimana seorang guru meramu dan mengendalikan sense of humor-nya. Misalnya, jangan sampai guru mengeluarkan humor-humor porno di hadapan siswa. Sebab selain tidak pantas, juga akan menjadikan citra guru tersebut jadi buruk. Sekali saja guru mengeluarkan humor porno di hadapan siswa, wibawanya akan hancur dan ia tidak akan lagi disegani.

Sebenarnya humor bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari karikatur humor, cerita singkat anekdot, atau humor yang didesain khusus dalam pembelajaran, dan lain sebagainya. Sebab humor, menurut Emil Salim, adalah suatu situasi dan kondisi yang bebas nilai baku (fixed value). Humor memiliki daya rangsang untuk tertawa, namun tertawa bukun tujuan terakhinya.

Jusuf AN
Guru, senang menulis, dan jalan-jalan

                                                                                   ***

Semarang, Minggu 6 September 2015

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More