Cita-citaku Jadi Guru/foto Marfuah R.Umar Sidik |
Nah, kegiatan itu misalnya malam ini kita ngomongin sesuatu. Sesuatu itu bukan perkara mantan melulu. No way! Kita singkirkan sejenak kata "mantan" lebih baik malam minggu ini kita bicara tentang pendidikan. Bagaimana? Setuju kan? Soalnya kita juga generasi produk pendidikan, nah pandangan seperti apa tentang pendidikan Indonesia menurut kawan-kawan?
Kalau menurut saya, rasanya merupakan salah satu pemuda yang beruntung. Kenapa? Pertama, kalau berbicara mengenai keterjangkauan sekolah dari rumah saya cukup terjangkau. Meskipun hidup di sebuah desa yang jauh dari kota, namun saya tidak begitu bersusah payah menuju sekolah. Hal itu sangat berbeda dengan sekolah di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T).
Ya, ketika Sekolah Dasar (SD) dulu, berangkat sekolah hanya membutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki bersama kawan-kawan. Kemudian naik ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berada di kecamatan, dijangkau dengan berjalan kaki 20 menit menuju jalan raya, dilanjutkan naik mini bus selama 10 menit. Beranjak ketika Sekolah Menengah Atas (SMA), meski berada di kota namun sejak mini bus masuk desa setiap pagi hanya ditempuh selama 25 menit saja.
Kedua, bagaimana dengan sarana dan prasarana sekolah? Meski dulu keadaan ruang kelas SD ada yang bocor sana sini dan atap hampir ambruk, namun sarana dan prasarana semakin memadai di SMP dan SMA. Buku, alat tulis, seragam, dan barang keperluan sekolah memadai. Alat olah raga di sekolah ada. Belajar komputer atau menonton film untuk mendukung pelajaran Sejarah atau Bahasa Indonesa ada ruang multimedia. Kemudian praktek pelajaran IPA bisa di laboratorium (meskipun laboratorium IPS di sekolah belum ada). Bahkan, sekarang menurut penuturan adik saya yang duduk di bangku SMA, sudah ada jaringan internet masuk ke sekolah (jaman saya dulu masih ngatri di warnet).
Ketiga, saya merasa beruntung dengan keberadaan guru yang menginspirasi. Ya, meskipun tidak semua guru sadar sebagai teladan bagi siswa, namun setidaknya di sekolah tempat saya belajar menemukan guru yang bisa digugu dan ditiru. Seperti halnya Bu Een Sukaesih (Alm) dengan keterbatasan fisik, namun ketulusan hati beliau dapat tempat di hati murid-murid. Bu Een (saya berharap guru di Indonesia yang lainnya juga) berperan seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara yaitu guru dengan asah, asih, dan asuh sehingga disayangi dan populer di kalangan siswa.
Betapa beruntung saya bukan? Namun, bagaimana dengan sekolah di daerah 3T di Indonesia? Ironi. Begitulah saya katakan karena di kota-kota pernah demam sekolah berstandar nasional dan bahkan internasional dengan membanggakan sarana dan prasarana yang ada. Namun berbeda dengan di daerah 3T yang minim sarana dan prasarana, semangat untuk bersekolah saja sudah cukup menjadi modal mereka menuntut ilmu.
Oleh karena itu, ada rasa haru dan bangga melihat foto kegiatan pengabdian Sarjana Mengajar 3 T (SM3T) kawan-kawan saya di media sosial mereka. Haru karena ternyata kondisi sarana dan prasarana nampak terbatas. Namun, sekaligus bangga karena meskipun dengan keterbatasan itu anak-anak dalam gambar nampak bahagia.
Di sinilah menurut saya pendidikan tidak melulu tentang sarana dan prasarana materi yang harus memadai, namun bagaimana keberadaan guru di sekolah menjadi pelita dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Ya, meskipun sarana dan prasarana tidak mencukupi, namun semangat guru memberi inspirasi akan menghidupkan semangat penerus bangsa menjadi insan yang berguna. Siswa yang cerdas tidak hanya intelektual, tapi cerdas juga secara sosial dan spiritual.
Menurut saya, digalakkannya program SM3T dan Guru Garis Depan (GGD) sangat bermanfaat dalam menciptakan siswa semacam itu. Siswa bersekolah dengan bahagia bersama guru yang tulus berbagi ilmu dan pengalaman menarik hidup mereka. Jadi, pendidikan tidak melulu tentang sarana dan prasarana yang lengkap tapi nir pemupukan akhlak mulia. Namun, pendidikan tentang bagaimana ketersediaaan dan pemerataan guru harapan Ki Hajar Dewantara untuk Indonesia yaitu guru yang asah, asih, dan asuh. Bukan begitu? Bagaimana menurutmu?
Semarang, 28 November 2015