6:40 AM
marfuahhikaru.blogspot.com
|
kfk.kompas.com |
…Orang bilang tanah kita tanah murka,
tongkat
kayu dan batu
jadi tawuran....
(Koes
Minus)
Hamparan
padi di sawah
tampak
rata menghijau seperti
rumput lapangan
sepak bola di stadion. “Tanaman padi saya di sebelah sana,” ungkap Budi
Supriyono sambil menunjuk
satu petak
yang berada di tengah hamparan sawah.
Budi
adalah
Ketua Kelompok Tani “Werdidadi”
desa
Prebun, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas yang mencoba pertanian organik.
Selain
petani, dia juga membuka jasa penggilingan
tepung beras. Senyumnya mengembang ketika kami mendatangi tempat
ia melakukan pekerjaannya
itu
yang lokasinya
bersebelahan dengan sekeretariat kelompok tani desa setempat.
Tak hanya Budi, 70 persen masyarakat Indonesia juga hidup dari hasil pertanian. Indonesia yang dulu merupakan negara
pengekspor beras, kini malah sebaliknya mengimpor beras. Seperti yang
diberitakan harian Kompas (21/2),
15.000 ton beras impor membanjiri
Bandar
Lampung. Beras
itu berasal dari India yang dulu merupakan
negara Asia yang sama
seperti Indonesia sebagai negara berkembang.
Saat kunjungan di
Kabupaten Sragen dalam rangka panen raya, SBY menginginkan peningkatan produksi
bahan pangan
menjadi prioritas bangsa. Untuk
mencapainya, pemerintah menekankan pentingnnya kolaborasi semua pihak, baik
pemerintah, swasta, peneliti, petani maupun pelaku industri bahan pangan dalam memperkuat ketahanan
pangan nasional (Kompas
18/3).
Tekad pemerintah menaikkan produksi beras boleh
diapresiasi. Dilihat dari kebijakan benih padi, penggunaan benih padi yang meluas saat ini merupakan kebijakan
dari orde lama. Kala
itu, presiden Soeharto membuat kebijakan yang terkenal dengan sebutan “Revolusi
Hijau”. Ini merupakan salah satu kebijakan yang diharapkan dapat mendongkrak produksi padi pada masa itu.
Menurut hasil survei
Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (BPS 2011), sejumlah 87,57 persen usaha tani padi sawah
menggunakan benih hibrida, sedangkan penggunaan benih lokal hanya 12,43 persen.
|
tribunjateng.com |
Varietas
generik yang diterapkan merupakan
hasil penelitian dari IRRI Filiphina yang kemudian disebarluaskan di Indonesia
untuk ditanam secara massal.
Varietas baru ini adalah IR 8, IR 5, C4, IR 20 dan IR 22. Hasilnya
mencengangkan memang, produksi padi bisa menghasilkan 6-10 ton per hektar
daripada varietas lama yang
hanya 2-3 ton per hektar (1970-1984). Dengan hasil tersebut, selama 14 tahun produksi
padi bisa dipompa dari 1.8
ton per hektar menjadi 3.03
per hektar. Padahal, Jepang saja untuk
meningkatkan produksi padi
dari 2
ton menjadi 3.01 ton per hektar memerlukan waktu 68
tahun. (Ironi Negeri Beras 2008: 10)
Produksi
memang berhasil digenjot pada masa itu, namun biaya produksi yang diperlukan
ternyata mahal.
Kalau dulu perhitungan produksi pertanian dilakukan lewat tawar menawar dengan
alam, kini semua bergantung pada
industry. Ketergantungan kepada perusahaan
pembuat pupuk dan penyedia bibit
menjadikan ongkos bertani kian
mahal. Setiap
tahun, petani harus membelanjakan uangnya dalam jumlah besar untuk pembelian bibit unggul,
pestisida, fungisida, pupuk buatan yang sebagian besar disuplai oleh
negara-negara asing.
Selain
itu, tanah juga harus disewa, tenaga kerja buruh harus dibayar, dan di sejumlah daerah untuk pengairan sawah petani masih
harus mengeluarkan biaya. Demi mendapatkan aliran air bagi sawah tadah
hujannya, Parmin petani di Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, mengeluarkan
biaya 4 juta untuk membuat sumur pantek (Kompas
3/7).
Tidak hanya itu, akibat asupan
kimiawi yang terlalu banyak menyebabkan kualitas tanah menurun. Penggunaan pupuk kimiawi terlalu banyak
menyebabkan tanaman padi tidak responsif terhadap pemupukan. Jadi, seberapapun
pupuk ditambah, produktivitas padi tidak sebanding dengan penambahan pupuk. Varietas
yang dianggap unggul menyedot dan menyebabkan bahan organik dalam tanah juga menurun. Varietas ini rakus akan
hara sehingga 80 persen
dari 7 juta hektar
lahan sawah di Indonesia bahan organiknya hanya 1 persen. Akibat peggunaan pupuk kimiawi
keanekaragaman hayati menurun, predator hama teman petani mati dan sebaliknya
hama wereng tak terkendali
dan bahkan bermutasi.
(Ironi Negeri Beras, 2008: 15)
Seperti yang dikatakan
Ratih Damayanti, pegawai Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Desa Prebun,
Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, bahwa pupuk kimia atau anorganik memang hasilnya instan, tetapi lama
kelamaan dapat merusak lingkungan terutama tanah. bahan kimianya juga berbahaya
bagi manusia. Dari segi harga, relatif mahal dan petani juga tidak bisa memproduksi sendiri. “Pupuk kimia juga bersifat seperti candu jadi semakin lama digunakan
di lahan, maka kebutuhan pupuk kimia tersebut
semakin banyak,” ungkap wanita alumnus Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya
Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) melalui
surat elektronik karena sedang berlibur di tempat saudaranya di Jakarta saat
dihubungi.
Wanita tomboi ini sudah menjadi PPL
sejak
tahun 2009. Dan selama
dua tahun lebih itu pula, ia mengaku lewat surat elektronik bahwa untuk
menerima dan mengaplikasikan pupuk organik pada tanaman padi, masyarakat memang
gampang-gampang susah.
Merubah sistem pertanian yang sudah ada menjadi pertanian
organik membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena kondisi lahan pertanian
sekarang sudah cukup rusak sehingga butuh waktu lama untuk merubahnya
(rekondisi) menjadi lebih baik. Pemikiran petani yang sudah terbiasa dimanja oleh subsidi
pupuk kimia serta
sifat pupuk kimia yang instan membuat petani sulit lepas dari ketergantungan
pupuk kimia.
Ramah
Lingkungan - Ramah Kantong Petani
Budi mengaku, selain menggunakan
pupuk organik yang ada di pasaran, ia juga membuat pupuk organik sendiri yang
terbuat dari ikan dan gula merah yang ia beri air dan difermentasikan. “Saya
membuat pupuk cair untuk mengilangkan hama, lebih murah dan gampang
membuatnya,” jelas dia.Semua
permasalahan yang ada pada jaman presiden Soeharto masih bergaung sampai
sekarang. Seharusnya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian
tidak dengan cara menaikkan
subsidi pupuk, bibit atau pestisida
lain. Tetapi, bagaimana keseriusan pemerintah
mengkaji masalah pertanian
dan memberikan solusi jangka panjang. Pertanian organik bisa menjadi solusi untuk masalah ini, penerapannya
bukan hanya rencana-rencana dan mengotak-atik data di atas kertas saja.
Terobosan
baru perlu berani dilaksanakan. Melalui
pertanian organik petani tidak perlu bergantung pada pupuk
kimiawi yang mahal dan malah
bisa merusak
tanah. Bagaimana mau sejahtera?
Menurut BPS (Januari 2012), buruh tani yang bekerja harian
bergaji 39.727 rupiah,
namun riilnya hanya 28.582
rupiah.
Menurut
Ratih, meskipun
padi organik masa panen lebih lama, namun biaya produksi lebih murah dan harga
jual lebih mahal daripada beras anorganik.
Sementara, Budi
mengungkapkan bahwa sejak
tahun 2008 ia mencoba menanam padi organik di sawahnya. Ia mengaku, sawah yang
dicobanya untuk menanam padi organik memang tidak luas, dari 300 petak sawah, hanya
42 petak
saja yang ditanami
padi secara organik. Menanam padi organik memang menarik bagi Budi, sebab
lebih menguntungkan daripada menanam padi anorganik.
Masih kata Budi, “Jika diakumulasikan,
biaya produksi pertanian organik lebih rendah dari biaya produksi pertanian
anorganik. Misalnya saja, dengan luas lahan yang sama. Pertanian organik
memerlukan biaya pupuk organik padat hanya 20 ribu rupiah per 40 kilogram
sedangkan pupuk cair 100 ribu rupiah per liter. Sedangkan jika menggunakan
pupuk anorganik, dia harus merogoh uang lebih banyak, KCL nonsubsidi 400 ribu
rupiah per bungkus, urea 50 ribu rupiah per 95 kilogram, NPK 120 ribu rupiah
per bungkus, SP36 100 ribu rupiah per bungkus. Jika dijumlah, biaya pupuk
organik lebih murah dari pupuk anorganik yaitu 120 ribu rupiah banding 770 ribu
rupiah. Selisih 650 ribu rupiah dari pupuk anorganik”.
“Padi organik memang warna
hijaunya terlihat lebih pucat daripada padi anorganik, tetapi kalau mengenai
timbangan padi organik lebih berat,” ungkap Budi lagi. Ia menambahkan, satu
kuintal padi yang ditanam secara organik bisa menghasilkan 70 kilogram beras, berbeda
dengan padi yang ditanam secara anorganik yang berat hasilnya kurang dari itu.
Perlu diketahui bahwa kabarnya pemerintah ke depan akan menghapuskan subsidi
pupuk dan bahan pembuat pupuk kimia yang semakin menipis, jadi sangat beralasan jika sebaiknya
petani mulai beralih ke model pertanian organik. Semua bergantung keberanian pemerintah
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menyejahterakan petani atau tidak. Semoga
tak lagi ada ibarat ayam yang mati di
lumbung padi. Semoga....
|
oppo |
(Selamat Hati Tani 2014, tulisan ini merupakan hasil liputan yang dimuat pada Majalah Kompas Mahasiswa Unnes www.bp2munnes.org)
0 comments:
Post a Comment