Friday, October 31, 2014

Menulis Sebuah Kemauan Diri


Bandung Mawardi salah seorang sastrawan asal kota Solo, dalam acara Penlatihan Jurnalistik Dasar (PJD) di Unnes pernah mengatakan, menulis adalah kemauan. “Jika kau tidak mau menulis ya sudah jangan menulis,” cetusnya.

Acara tentang kejurnalistikan ini menjadi menarik dengan adanya tema kepenulisan yang disuguhkan dengan Tanya jawab. Beberapa teman-teman peserta PJD mengajukan pertanyaan seputar.  Bagaimana agar bisa mahir menulis? Bagaimana agar bisa membuat tulisan yang menari? Dan Bagaimana agar bisa produktif menulis? Dan juga ada salah seorang peserta yang bertanya, bagaimana cara menghilangkan bad mood  atau malas ketika akan menulis?

Bandung Mawardi pendiri Pawon Sastra ini pun menjawab dengan gaya khasnya yang santai namun mengena ketika bertutur kata. “Kalau sedang bad mood ya jangan menulis, menulis butuh kemauan. Kalau sedang tidak mau menulis ya sudah jangan menulis. Itu saja!”
Menulis bukan sekedar keinginan menulis. Menulis itu menulis. Menulis bukan urusan menata kata. Orang memerlukan untuk menempuhi jalan menulis dengan segala milik diri. Kemanjaan dan minimalitas diri justru membuat petaka. Menulis adalah keterlibatan mencekam dan melegakan dari proses keringat kata, geliat imajinasi, sekarat tubuh dan lenguh iman. Kerja menulis mirip ibadah dan keterlenaan ruang dan waktu.

Menulis bukan urusan tampil diri sebagai bacaan. Menulis itu membaca. Modal membaca tak bisa ditangguhkan atau diabaikan sebagai sekadar instrument. Membaca mesti jadi jelmaan iman karena member i terang. Urusan membaca adalah urusan melibatkan diri untuk merasai hadir dalam jagat kata dan resah memamah pernak-pernik makna dari segala penjuru.

Menulis bukan urusan menanti. Menulis itu tindakan melawan kutukan malas dan lupa. Intensitas mengurusi kata bakal membukaan lorong-lorong gelap untuk minta terang. Menulis bukan urusan mencari dan menemukan.

Tulisan memiliki jalan untuk menghuni lembaran koran, jurnal, bulletin, majalah, atau buku. Jalan ini ramai karena orang-orang merasa memiliki hak untuk sampai. Tanda-tanda jalan tak bisa memastikan tulisan tersesat, tabrakan, mati kehausan, atau tertidur di selokan. Tulisan bisa bergelimang dosa oleh kutukan-kutukan atau pengabaian. Tulisan pun menuia berkah saat merasuki manusia-manusia pilihan dalam memberi putusan dilematis.

https://arigatouminasan.wordpress.com/


0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More