|
Dokumentasi Pribadi |
Kejujuran tak selalu mendapat reaksi positif, malah sebaliknya kejujuran mendapatkan cemoohan. Contoh nyata seperti Ibu Siami dan Alif (2011), anaknya sempat menjadi musuh bersama bagi masyarakat di sekitar mereka karena melakukan praktek kejujuran dalam Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Begitu juga seseorang guru honorer yang dengan jujur membuka praktek politisasi pendidikan, malah tersingkirkan dari masyarakat.
Masyarakat menyadari, bahwa kejujuran adalah sebuah nilai luhur. Namun, yang mengherankan dalam kasus ini kejujuran menjadi musuh bersama. Apa yang dialami Ibu Siami beserta Alif, anaknya dan guru honorer ini merupakan peristiwa gunung es, masih banyak kasus serupa yang tidak terkawal oleh media.
Saya kira, Ibu Siami dan Alif serta guru honorer tadi adalah orang-orang yang
out of the box, orang-orang yang mau keluar dari sistem. Ya, sebuah sistem keyakinan yang menurut hati nurani mereka keliru. Agus Nuryanto dalam bukunya Mahzab Pendidikan Kritis mengambil penyataan Joe Kincheloe, 2005 mahzab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan.
Agus juga menyatakan, di suatu sisi sekolah dilandaskan pada satu visi membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak menumbuhkan ruang bagi tumbuhnya ruang subyek yang kritis, toleransi, dan multi-kulturalisme. Ibu Siami, Alif dan guru honorer tadi contoh nyata, bahwa sekolahnya tidak memiliki ruang bagi mereka yang kritis, malah sebaliknya semakin terpinggirkan.
Sekolah sebagai tempat menjalankan pendidikan, seharusnya mentrasformasikan nilai-nilai luhur, seperti kejujuran. Tapi kenyataanya malah sebaliknya, sekolah menjadi praktek ketidakjujuran, dan itu seolah-olah terlegitimasi. Seperti kasus, Ibu Siami dan Alif, sekolah melegitimasi ketidakjujuran dengan memperbolehkan dan bahkan menganjurkan untuk saling mencontek ketika UN. Pemecatan guru honorer tadi juga tindakan yang demikian. Sekolah membiarkan praktek ketidakjujuran, dan membunuh karakter para pelaku kejujuran.
Sekolah kehilangan esensi pendidikan, gagal menanamkan budi pekerti. Nilai menjadi barang berharga, yang diagung-agungkan. Orang tua bisa jadi berbangga hati ketika nilai kognitif anak mereka di atas rata-rata, tapi tak tahu dari mana anak itu mendapatkannya. Ibu Siami, mencoba menanamkan budi pekerti kepada anaknya, dan itu berhasil. Sedangkan sekolah telah gagal melaksanakannya.
Ibu Siami barang kali tahu bahwa hubungan pribadi di lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan sosial anak. Penelitian (Hazen dan Shaver, 1987; Fisher, 1990) menunjukan bahwa pendidikan anak yang digunakan oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak, terutama pada tahun-tahun awal kehidupan.
Pengalaman pada masa kanak-kanak mempengaruhi perkembangan pada masa berikutnya. Begitulah yang diugkapkan Freud salah satu pakar psikologi. Hal ini juga diamini oleh Erik Ericson, percaya bahwa cara-cara seseorang menyelesaikan masalah perkembangan kehangatan, kepedulian dengan orang tua atau kemampuan berfikir dan bertindak secara otonomi merupakan faktor penting bagi perkembagan berikutnya.
Teori di atas membuktikan, orang tua sangat berpengaruh dalam perkembangan anak. Ibu Siami berhasil memberikan pemahaman budi pekerti kepada anaknya ditengah-tengah sikap sekolah dan masyarakat yang keluar dari nilai-nilai luhur.
Dalam hal ini dari tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial, yaitu keluarga, lingkungan, dan masyarakat, ternyata faktor lingkungan dan masyarakat memperburuk pendidikan nilai. Lingkungan sekolah seharusnya mempunyai kesadaran untuk memberikan pendidikan nilai tersebut, dan begitu juga masyarakat. Tapi pemahaman terhadap esensi pendidikan ini yang membuat kabur pentingnya pendidikan nilai.
Esensi pendidikan bukanlah mengagungkan ketercapaian nilai kognitif, tapi afeksi menjadi lebih urgen untuk ditanamkan pada siswa. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, dan tubuh anak. Jadi? Akankah kualitas pendidikan kita hanya diimplementasikan pada secarik kertas saja?
Sumber foto Dok. pribadi
Daftar Pustaka
Achmad Munib, dkk, 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
Nuryanto, Agus, 2008. Mahzab Pendidikan Kritis. Jogjakarta: Nailil Printika.
Rifai, Achmad dan Catharina Tri Anni. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
Seifert, Kelvin. 2010. Managemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan Managemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik. Jogjakarta: IRCiSoD.
-------, 2005. Jurnal Telaah Volume 1 Bulan April, Pendidikan Pembebasan. Semarang: Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa.