Semangat Berusaha di Usia Senja
Sebagian pengguna internet (netizen) yang baca celoteh ini tahu tentang kisah penjual tebu yang tak laku di Kamboja? Iya, di luar simpang siur keberadaan penjual tebu yang tak laku tadi, kisahnya berhasil membuat warga dunia maya tersentuh dan ingin membantu. Tapi, tak perlu jauh-jauh membantu kakek penjual tebu yang tak laku itu, karena tengoklah kanan kiri kita di sekitar Unnes, ada juga kakek dan bahkan nenek yang masih tetap berusaha meski usia senja. Mereka juga memerlukan perhatian kita.Kakek Penjual Tebu yang Menangis/sumber http://makassar.tribunnews.com/ |
Baiklah, di bawah ini akan aku tuliskan celoteh mengenai pedagang rambutan dan pedagang lokal lainnya. Selamat menikmati. Semoga membaca celoteh ini, senikmat menyesap secangkir teh.
1. Kisah Penjual Rambutan
Mbah Sadik Membungkus Rambutannya/Dok. Pribadi |
Selain Mbah Sadik, ada juga Mbah Sutini. Ketika ditanya umur, mbah berasal dari Ampelgading ini tidak bisa menjawab pasti. Ia hanya mengingat pada tahun 1945 ia menikah dengan suaminya yang bekerja apa saja membantu petugas di KUA. "Bapak dadi buruh neng KUA," katanya ketika duduk di teras gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unnes sembari menawarkan rambutan yang dibawanya.
Setiap pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, setelah selesai memasak, ia berjalan menggendong kurang lebih 30 ikat rambutan yang ia beli di Kelurahan Ngijo. Ia berkeliling dari Ngijo, rusunawa putri Unnes, sampai ke wilayah sekitar kampus. Ia mengaku, sejak dulu berjualan hasil bumi dari Gunungpati. Saat ini, sampai keenam anaknya berkeluarga dan tinggal jauh dengannya, ia tetap berjualan untuk kebutuhan sendiri, dan juga tidak lupa untuk memberi uang saku cucu kalau berkunjung ke rumah. "Ora popo Mbak, wis tuo dodolan ngene. Lha arep ngopo, itung-itung iso nggo nyanguni putu, Mbak," kata sambil tersenyum ramah.
Bapak dengan Gerobak Dorongannya/Dian |
Jika kamu ingin membeli rambutan mereka, cari saja disekitar Unnes. Kadang Mbah Sadik berkeliling menjajakan rambutannya di sekitar jalan Sekaran-Banaran. Untuk Mbah Sutini, ia kadang ditemukan di rusunawa putri, Gedung UKM, dan berkeliling di dalam wilayah kampus. Sedangkan Bapak dengan gerobak dorongnya, kadang kamu bisa menemukannya berkeliling mendorong gerobaknya di sore hari ketika banyak mahasiswa Unnes berolahraga di Tugu Konservasi.
2.Pedagang Durian
Mbah Sutrisno Membelah Durian Asli Gunungpati/Dok. Pribadi |
Sebelum berjualan durian di gubug seperti sekarang ini, ketika masih muda ia melalang buana ke daerah lain untuk membeli duren. Bersama Pak Suwardi (Mbah yang sering menjual thiwul di FE), Mbah Sutrisno menyewa truk dan membeli duren dari Sampang, Madura sampai Purbalingga, Jawa Tengah."Dulu bisa sampai ke Madura, sekarang badan sudah tua dan kalau sampai beli ke luar kota modal juga harus banyak. Sekarang cukup beli duren di pasar Gunungpati saja,"katanya.
Ia juga bercerita mengenai pengalamannya saat jaman 1965. Saat gencar-gencarnya PKI, ia melakukan perjalanan membeli duren dari Jawa Timur. Di tengah perjalanan, di daerah Wonokromo, ia diselidiki berjam-jam oleh aparat. Ia merasa kesal karena aparat tidak percaya kalau ia seorang Muslim.
"Sampai-sampai saya dites bacaan Alquran. Saya sebelumnya ditanya `agamanya apa?` Saya jawab Islam. Kalau mengatakan Islam tapi tidak shalat apa gunanya,"tuturnya. "Setelah saya tidak terbukti, aparat yang memeriksa saya meminta duren yang saya bawa, tapi tidak saya beri. Satu pongge pun tidak boleh, sebab saya marah sudah menyangka saya pelarian," tambahnya dengan bahasa Indonesia yang lancar.
"Yo ngono Mbak rasane lungo soko paren, saiki wis tuo opo sing iso dilakoni yo dilakoni. Iso nggowo seket (lima puluh) duren yo nggowo, anger ora yo seanane sing penting bergerak. Ora nganggur," tambah Mbah yang tinggal di rumah bersama istrinya di Patemon itu.
3. Pedagang Thiwul dan Manggis
Mbah Suwardi dengan Dagangan Manggisnya/Dok. Pribadi |
Thiwul yang dibuatnya bersama istri di rumah tidak kalah dengan kebanyakan makanan di toko-toko, bedanya thiwul Mbah Suwardi selain mengenyangkan juga sehat, karena tanpa bahan pengawet. Ia juga menambahkan, bahan baku thiwul yang ia jual di sekitar Unnes, selain kadang mencari ketela di alas, ia juga membeli singkongi dari orang di Patemon sehargal Rp 15.000/ 3 Kilogram. Dari bahan itu, menghasilkan 40 bungkus thiwul yang dijualnya masing-masing Rp 1000. Jadi, jika semua thiwul itu terjual, setelah seharian berkeliling ia membawa pulang pendapatan bersih hanya Rp 25.000 setiap hari.
Hidup begitu terasa berat, bagi ia yang gampang mengeluh dan tidak bersyukur. Namun,berbeda dengan Mbah-Mbah penjual di sekitar Unnes hidup itu. Meskipun hanya mendapatkan untung sedikit, mereka tetap semangat berusaha di tengah-tengah hiruk pikuk sekitar Unnes.
Melihat kenyataan demikian, rasanya aku yang masih muda ini belum melakukan apa-apa, betapa ada orang yang lebih keras bejuang untuk hidup di luar sana. Aku, selama ini tidak banyak perjuangan yang aku lakukan untuk sesama. Hanya salah satunya lewat kata-kata dalam celoteh ini yang bisa aku lakukan.
Cara lain menyebarluaskan semangat belanja/membeli barang di toko kelontong dan pedagang kecil di sekitar Unnes antara lain, kamu bisa unggah potret ketika membeli barang di toko kelontong atau pada pedagang lokal, kemudian tandai teman-temanmu. Seperti yang dilakukan temanku di bawah ini:
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unnes Heru Ferdiansyah Belanja di Toko Kelontong sumber foto klik di sini |
#SaveProdukLokal #SavePedagangLokalGunungpati #SaveJajanPasar #SaveKelontong #SaveWarungSembako dan yang tidak ketinggalan juga #SaveJomblo hehe
Jum`at, 27 Maret 2015