pendidikberpena.wordpress.com |
Ada sebuah kisah dari Munif Chatib seorang Konsultan Pendidikan dan Penulis Buku Best Seller “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia” saat diundang menjadi pelatih mengajar Multiple Intelligences di sebuah sekolah. Sempat dua tahun lalu ketika aku meliput kegiatan untuk majalah kampus di Sekolah Qairiyyah Thayyibah di Salatiga (salah satu sekolah yang menarik bagiku). Pertemuanku dengan pendidik inspiratif lulusan Fakultas Hukum itu menyadarkanku bahwa setiap anak adalah juara. Iya, setiap anak ada angka 10 (sepuluh) di atas kepala. Berikut kisah dalam buku Gurunya Manusia karya Munif Chatib tersebut:
Tepat pukul 08.00, saya sudah berada di sekolah. Setibanya di sekolah, saya ditemani kepala sekolah dan terus mendapatkan informasi mengerikan tentang kondisi siswa di kelas tersebut. Saya cuma bisa menelan ludah, membayangkan harus mengajar dengan tema menghormati guru di kelas yang semua siswanya paling tidak mau menghormati guru.
Setelah menaiki tangga lantai dua, akhirnya saya tepat berdiri di depan pintu kelas “panas” tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, saya masuk kelas sembari membuang semua gambaran negatif tentang siswa di kelas itu. Saya membayangkan: semua siswanya baik dan dapat diajak kerja sama; tidak ada siswa yang nakal dan kurang ajar, serta semua siswa tersebut pasti akan mau menjadi sahabat saya; mereka dengan rela mau mengikuti pelajaran, sehingga target materi tuntas. Saya melakukan positive thinking di depan kelas tersebut.
Dan benar, di depan kelas, saya menatap wajah mereka satu per satu. Luar biasa, saya melihat wajah-wajah siswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Wajah-wajah yang haus sentuhan pengajaran manusiawi. Saya memperkenalkan diri dan meminta semua siswa juga memperkenalkan diri masing-masing.
www.kemendikbud.go.id |
Lalu, satu per satu mereka berdiri, menyebutkan nama dan profesi.
“Saya Nasyirudin, ingin jadi pembalap motor cross.”
Wow, alhamdulilah! Saat itu, saya merasa di menit-menit awal sudah berhasil mengambil hati,anak-anak “unik” ini. Akhirnya tidak ada satu pun siswa yang diam.Satu hal yang penting, anak-anak yang dikatakan “nakal” ini ternyata punya mimpi dan punya harapan, berarti mereka punya motivasi untuk belajar.
Lalu, saya melakukan pre-teach, dengan mengatakan: “Adik-adik, tiga puluh menit ke depan, kita akan berdiskusi. Untuk itu, saya membutuhkan seorang notulis dan moderator. Kalian akan dibagi menjadi empat kelompok, terserah terbagi atas dasar apa, pokoknya ada unsur persamaannya. Saya sendiri sebagai moderator, sedangkan untuk notulis, saya minta salah satu dari kalian.”
Langsung Nasrudin angkat tangan, dia siap menjadi notulis. Saya meminta seisi kelas memberi tepuk tangan kepada Nasyirudin.
Seketika kelas menjadi ribut dan, suhanallah tepat sepuluh detik mereka sudah terbagi menjadi empat kelompok dengan empat nama yang mereka buat sendiri.
http://bismacenter.ning.com/ |
“Tulis satu nama guru kalian tepat di tengah kertas. Lalu, di sampingnya beri tanda tanya besar, kemudian tutup buku kalian. Nanti, di akhir pelajaran, kita akan buka kembali,” kata saya.
Mereka berpikir sejenak. Ada yang tersenyum, saling menoleh kepada temannya. Ada yang geleng-geleng kepala. Saya merasakan ada penghalang dan saya tahu itu. Mereka tidak enak kepada guru mereka yang sedang duduk di belakang kelas.
“Adik-adik, jika guru tersebut ada di belakang kita, tidak apa-apa. Tulis saja, lalu tutup. Tidak pernah ada yang tahu.”
Rupanya, kata-kata saya menjadi penenang bagi para siswa. Tak lama kemudian mereka menuliskan nama guru di kertas masing-masing. Saya mulai berdiskusi dengan melemparkan sebuah masalah. Apa penyebab kebanyakan siswa yang tidak suka kepada guru sehingga mereka tidak menghormati guru? Luar biasa, tidak sampai lima menit setiap kelompok mendapatkan jawabannya.
“Yang membuat guru tidak menyenangkan adalah sering memerintahkan untuk mencatat terus sampai tangan saya capai.”
“Sering marah tanpa sebab!”
“Tidak boleh ke toilet.”
“Cerewet.”
“Sering memberi tugas berat!”
“Kalau siswa berkelahi, malah diadukan.”
Kelas tersebut menjadi ajang curahan hati para siswa. Untuk mencarikan suasana yang tegang, saya menyuruh siswa bertepuk tangan. Kemudian saya menantang mereka dengan masalah kedua.
“Coba diskusikan lagi, apa yag kalian usulkan kepada guru agar masalah pertama tidak muncul?”
“Mestinya kami lebih banyak diperhatikan guru.”
“Mestinya kami sering diajak bicara oleh guru.”
“Mestinya guru lebih percaya pada kami. Tanpa mencatat berlembar-lembar kami mau belajar.”
Dan klimaksnya, terlontar pertanyaan: “Mestinya kami disamakan dengan anak yang lain. Tidak dicap nakal.”
Saya langsung meminta mereka serius dalam menjawab pertanyaan pamungkas:: ”Jika keinginan kalian dipenuhi, apakah di kelas ini akan terjadi keadaan yang harmonis? Kalian mau dengan rela dan ikhlas memandang guru kalian seperti orangtua kalian yang layak dihormati?”
Serempak mereka menjawab: “Mau!” dan mengangguk.
Saya meminta mereka membuka kembali kertas yang berisi nama guru tidak disukai yang telah ditulis di awal belajar.
“Coba adik-adik bayangkan wajah guru yang namanya kalian tulis. Apakah benar mereka cerewet? Apakah benar mereka galak? Apa benar? Coba jawab dengan hati nurani kalian. Kalian tahu, merekalah yang menyelamatkan dunia dan akhirat kalian. Merekalah yang berusaha agar cita-cita kalian terwujud. Apakah pantas kalian katakan mereka tidak menyenangkan? Ayo, bagi yang merasa masih punya hati, silahkan berdiri,bangkit, temui guru yang kalian tulis namanya tersebut. Ucapkan permohonan maaaf yang benar-benar dari hati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Ayo, berdiri, cari guru kalian!”
Selanjutnya, ada air mata yang mengucur antara guru dan siswa. Alhamdulillah, saya berhasil menutup empat puluh menit mengajar dengan cantik. Siswa memahami pengertian tentang sikap menghormati. Dan bagaimana guru bersikap tulus kepada siswa. Sadar bahwa setiap anak adalah juara. My teacher you are my inspiration!
*Sumber: Kisah Inspiratif dalam Buku “Gurunya Manusia” Karya Munif Chatib berjudul “Empat Puluh Menit di Kelas Ternakal” dengan perubahan