sumber foto klik di sini |
Pergi ke toko buku menjadi hal yang menarik bagiku, karena di sana aku bisa membaca buku-buku baru secara gratis. hehe Tidak hanya pergi ke tempat menarik, ketika penat melanda aku akan mencoba hal-hal yang belum pernah aku lakukan. Misalnya saja, aku mahasiswa yang diberi fasilitas motor oleh orang tua terbiasa bepergian naik motor, namun mencoba pergi ke toko buku di daerah Simpang Lima naik moda transportasi umum yang ternyata asyik juga.
Ini terbilang hal menarik bagiku, karena enam setengah tahun di Semarang (jadi kuberitahu kalau aku adalah mahasiswa tua di Universitas Negeri Semarang-Unnes), belum pernah sekalipun pergi-pulang Unnes-Simpang Lima menggunakan moda tarnsportasi umum seperti angkot . Maka pada hari merindu hujan di pekan terakhir Oktober ini (sudah tidak sedikit sumur telah kering di daerah Unnes yang notabene daerah resapan air di Semarang lho) kuberjalan 200 meter dari kos menuju jalan raya, kemudian berdiri di pinggir jalan, menunggu moda transportasi bukan taksi, apalagi jemputan "doi", tapi Bapak Supir Angkot sedang kunanti.
Perjalanan naik angkot dimulai. Pak Sopir menjalankan angkot berwarna hijau dan kuning tua itu pelan. Dalam angkot ada ibu-ibu di sampingku, juga seorang ibu penjual memegangi setumpuk aneka kudapan yang mau ia jajakan duduk di depanku, bapak-bapak dengan seorang anak kira-kira berusia 5 tahun, dan seorang pria remaja duduk manis di sebelah sopir.
Setelah berjalan beberapa menit, Pak Sopir menengok ke setiap gang yang ada di Sekaran-Banaran, siapa tahu ada calon penumpang yang menunggu. Pak Sopir tidak perlu tergesa-gera menancapkan gas karena angkotnya belum penuh. Kejar setoran istilahnya. Tidak dipungkiri, penumpang angkot kian menyusut dibandingkan dengan pengguna motor yang kian naik. Hal itu mempengarui pendapatannya sebagai supir angkot.
"Kalau begini, ini angkot mau jam berapa nyampe tempat tujuan?" tanyaku dalam hati.
Aku yang buta peta alur trayek angkot bertanya dengan ibu yang duduk di sebelahku. Tenyata hanya cukup dua kali naik angkot aku bisa sampai di Simpang Lima.
"Iki mudun neng Jembatan wesi. Terus numpak angkot meneh. Melu aku wae Mbak, aku arep neng Johar. Engko nglewati Simpang Lima," saran seorang ibu yang mau belanja ke Pasar yang beberapa bulan lalu kebakaran itu.
Jarak dan Waktu Tempuh Unnes-Simpang Lima
Kutanggukkan kepala tanda setuju saran ibu tadi. Sementara angkot masih berjalan pelan. Dari awal, aku memang sudah menaruh prasangka buruk dengan angkot. Angkot yang lamban, angkot yang panas, angkot yang suka berhenti mendadak. Namun, ternyata.... Jam menunjukkan pukul 9.30 sampai di Jembatan Besi. Ternyata, hanya butuh waktu 20 menit saja dari gang kosku (Patemon) sampai jembatan besi (itu juga sudah ditambah waktu sedikit tersendat karena perbaikan jalan di Trangkil).
Setelah sampai Jembatan Besi, angkot selanjutnya aku tumpangi. Angkot ngetem sebentar, kemudian melaju menuju Simpang Lima. Aku melewati Jalan Kaligarang, Karyadi, kemudian Kyai Saleh, Pandanaran, dan sampailah di tempat tujuan Simpang Lima. Dan yang mengejutkan, dari jembatan besi hanya butuh kurang lebih 30 menit saja, aku sudah sampai di Simpang Lima.
Jadi, total perjalananku dari Patemon (Unnes) sampai Simpang Lima kurang lebih hanya menempuh waktu kurang lebih 55 menit. Menurutku waktu tempuh ini tidak terlalu jauh selisihnya dengan ketika aku mengendarai motor menuju Simpang Lima. Melewati Gajah Mungkur, waktu tempuh kurang lebih 35 menit. Selisih 20 menit tidak menjadi masalah bagiku karena di dalam angkot, aku bisa bertemu dan berbincang dengan orang baru.
Lalu, berapa ongkos dari Unnes menuju ke Simpang Lima? Tidak banyak. Tenang saja, insyaallah tidak membuat kantong kita kering. Ongkos dari Patemon sampai Jembatan Besi Rp 4000 sedangkan Jembatan Besi-Simpang Lima juga Rp 4000. Begitu juga sebaliknya, jadi pergi-pulang Unnes-Simpang Lima membutuhkan ongkos jalan Rp 16.000.
"Kalau begini, ini angkot mau jam berapa nyampe tempat tujuan?" tanyaku dalam hati.
Aku yang buta peta alur trayek angkot bertanya dengan ibu yang duduk di sebelahku. Tenyata hanya cukup dua kali naik angkot aku bisa sampai di Simpang Lima.
"Iki mudun neng Jembatan wesi. Terus numpak angkot meneh. Melu aku wae Mbak, aku arep neng Johar. Engko nglewati Simpang Lima," saran seorang ibu yang mau belanja ke Pasar yang beberapa bulan lalu kebakaran itu.
Sumber foto klik di sini |
Kutanggukkan kepala tanda setuju saran ibu tadi. Sementara angkot masih berjalan pelan. Dari awal, aku memang sudah menaruh prasangka buruk dengan angkot. Angkot yang lamban, angkot yang panas, angkot yang suka berhenti mendadak. Namun, ternyata.... Jam menunjukkan pukul 9.30 sampai di Jembatan Besi. Ternyata, hanya butuh waktu 20 menit saja dari gang kosku (Patemon) sampai jembatan besi (itu juga sudah ditambah waktu sedikit tersendat karena perbaikan jalan di Trangkil).
Setelah sampai Jembatan Besi, angkot selanjutnya aku tumpangi. Angkot ngetem sebentar, kemudian melaju menuju Simpang Lima. Aku melewati Jalan Kaligarang, Karyadi, kemudian Kyai Saleh, Pandanaran, dan sampailah di tempat tujuan Simpang Lima. Dan yang mengejutkan, dari jembatan besi hanya butuh kurang lebih 30 menit saja, aku sudah sampai di Simpang Lima.
Jadi, total perjalananku dari Patemon (Unnes) sampai Simpang Lima kurang lebih hanya menempuh waktu kurang lebih 55 menit. Menurutku waktu tempuh ini tidak terlalu jauh selisihnya dengan ketika aku mengendarai motor menuju Simpang Lima. Melewati Gajah Mungkur, waktu tempuh kurang lebih 35 menit. Selisih 20 menit tidak menjadi masalah bagiku karena di dalam angkot, aku bisa bertemu dan berbincang dengan orang baru.
Lalu, berapa ongkos dari Unnes menuju ke Simpang Lima? Tidak banyak. Tenang saja, insyaallah tidak membuat kantong kita kering. Ongkos dari Patemon sampai Jembatan Besi Rp 4000 sedangkan Jembatan Besi-Simpang Lima juga Rp 4000. Begitu juga sebaliknya, jadi pergi-pulang Unnes-Simpang Lima membutuhkan ongkos jalan Rp 16.000.
Coba kita bandingkan dengan ongkos jalan Unnes-Simpang Lima menggunakan sepeda motor. Pergi-pulang Unnes-Simpang Lima kita memang hanya perlu satu kali mengisi bensin di Pom Bensin minimal Rp 10.000 (kecuali kalau ngecer literan bisa lebih murah). Namun, tidak hanya uang bensin, kita juga perlu bayar parkir Rp 2000. Belum lagi kalau kita berlama-lama di sana. Tambah biaya parkir per jam misal yang harusnya Rp 2000 tapi karena berlama-lama di kawasan Simpang Lima (baik ke toko buku atau pusat perbelanjaan lainnya) ongkos jasa parkir jadi Rp 3000/sekali parkir. Jadi, selisih ongkos naik angkot dengan naik sepeda kira-kira Rp 7000.
Menurutku ada sisi baik dan tidak di antara keduanya. Setidaknya aku sudah mencoba naik angkot. Ternyata seru juga. Salah satu serunya adalah jalan kaki di sekitar kawasan Simpang Lima dari tempat satu ke tempat yang lainnya. Terasa seperti turis asing di negara sendiri begitu (terasa asing dalam arti sebenarnya sih, karena jarang ketemu orang jalan kaki di trotoar apalagi panas-panasan). Nah, cuaca panas seperti pada musim kemarau dan El-Nino panjang seperti ini, aku pikir perlu bawa payung untuk melindungi diriku dari sinar UV (Ultra Violet) saat jalan kali. Cara ini salah satunya aku adaptasi dari dosen bahasa Jepangku dan teman-teman warga negara asingku yang suka pakai payung di siang hari meski tidak hujan.
Payung pun aku pakai sambil berdiri di trotoar menunggu angkot datang. Namun, bukan terlindungi dari panas, tapi angin yang cukup kencang berhembus membuat payungku terlipat ke belakang. hehehe Cepat-cepat aku perbaiki dan melipat payung tadi. hehe
Begitulah celoteh tentang perjalanan tunggal (alone trip) yang aku bagi untuk kamu. Sila pilih mana untuk berjalan-jalan ria ke Simpang Lima. Yang penting apapun moda transportasi yang kamu gunakan untuk melakukan perjalanan, selalu ingat ketenangan jiwa bermula dari kesyukuran. Selamat jalan-jalan!